Di sini ia kuberi nama Lina, mirip-mirip nama aslinya. Ia dan keluarganya ramah, tidak seperti umumnya orang kaya di tempat kami.
Rumah Lina persis di sebelah rumahku, hanya dibatasi pagar bambu yang disusun horizontal dan berjarak. Satu kali pun tak pernah aku atau kakakku memanjat pagar itu maupun merunduk di bawahnya. Padahal jelas mudah dilakukan.
Itulah etika bertetangga ajaran orangtuaku. Jika orang sudah memberi batas, maka jangan lampaui itu.
Dulu di sekitar rumah kami, hanya Lina yang memiliki video player. Beruntungnya lagi, orangtua Lina tidak memberlakukan bayar bagi siapa yang ingin numpang nonton di rumahnya. Yang penting tak terlalu ramai.
Beda dengan orang kaya di RT sebelah. Untuk menonton video di rumah mereka, rata-rata dikenakan tarif 100 rupiah untuk satu film.
Jika yang masuk sudah hampir memenuhi ruang TV rumah Lina, pintu ditutup. Kami diminta tidak mengajak orang untuk mampir. Mama Lina menyampaikannya dengan ramah. Tak sekalipun ia pernah membentak kami.
Begitulah Lina dan keluarganya, rendah hati di tengah kelebihan mereka. Menghapus kesan yang semasa kecil pernah kudapat dari cerita orang-orang, bahwa orang kaya selalu sombong dan suka merendahkan orang lain.
Pengalaman yang kudapat, juga di masa kecil, justru sebaliknya. Masih berhubungan dengan Lina.
Aku yang sejak kecil kurang suka nonton TV, nyatanya sering diajak kakak sulungku ke bioskop. Btw kakak-kakakku sadar gak ya, waktu kecil aku sering diajak mereka ke mana-mana. Setelah mereka punya anak, dan aku seumuran mereka dulu, aku malas diikuti anak-anak mereka.
Nyaris setiap ke bioskop, kakakku memilih film kungfu. Jadi sebelum melihat Aaron Kwok di majalah kakakku yang lain lagi, aku sudah sering melihat Jet Li dengan kepala botak tapi rambut belakang dijalin.
Berbeda denganku, Lina lebih suka film India. Ia punya kaset video film India yang kadang ditonton bersama keluarga, kadang bersama teman-teman, kecuali aku. Karena aku malas nonton film yang sebentar sebentar nyanyi.
Suatu kali, kami berdebat di lapangan, soal film mana yang paling bagus, India atau kungfu. Meski teman-temanku yang laki-laki sering sok-sok jago kungfu saat bermain, mereka semua memilih film India sebagai favorit.
Yang perempuan sih aku maklum, pasti mereka berkhayal memakai sari lalu memutari pohon sambil senyum-senyum. Lah yang laki-laki, apa mereka berkhayal jadi polisi bercelana pendek dan memegang pentungan?
Pokoknya setiap ada perdebatan antara aku dan Lina, pasti Lina selalu muncul sebagai pemenang. Dari yang terkecil sampai yang paling besar di antara kami, semua berada di blok Lina. Meski aku dan Lina sendiri rasanya tak pernah berkelahi.
Aku tak punya kenangan ribut dengan Lina, kecuali hanya sebatas debat itu. Dan dalam perdebatan itu pun, respons Lina tak lebih sadis dari para buzzer (mungkin cocok disebut begitu) yang ada di sekitar kami, dan semuanya tahu-tahu menjadi musuhku.
Sampai-sampai mereka, yang sehari-hari hanya tahu TVRI dan TPI, bisa-bisanya bilang Mithun Chakraborty lebih jago berkelahi dari Jacky Chan. Â Biarpun dongkol setengah mati, aku tak bisa berbuat apa-apa.
Suatu kali, akhirnya aku berhasil membuktikan bahwa aku lebih unggul dari Lina. Kami sama-sama mengikuti lomba salat di masjid, dan aku keluar sebagai juara 1. Sementara Lina di peringkat 3.
Paginya, sebagaimana anak-anak, Lina memamerkan handuk kecil warna putih, hadiah juara semalam. Aku sebagai pemenang pertama santai bilang, "Handukku lebih besak, warna merah."
Apa kata para buzzer? "Dak mungkin, kau kan juaro tigo. Lina yang juaro satu!"
Bangke.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H