Tapi sampai magrib, kakakku tak juga pulang. Kuhubungi berkali-kali tak ada respons. Nahasnya lagi, tak satu penjual makanan pun yang lewat, dan waktu itu belum ada go food atau yang sejenisnya.
Akhirnya aku ngomel di depan keponakan yang waktu itu baru fasih berlari. Ia yang tadinya ceria, tahu-tahu terdiam. Memandang keluar dengan wajah sendu. Aku masih ngedumel meski kali ini tidak di depannya.
Tapi mungkin karena suaraku masih tertangkap telinganya, keponakanku berlari ke kamar, lalu menangkupkan wajah di atas kasur sambil menangis memanggil ibunya. Duh, aku ikut nangis karena merasa bersalah.
Sampai sekarang aku masih merasa utang dosa pada bocah laki-laki yang kini sudah kelas 5 itu.
Pengalaman selanjutnya kualami sendiri, dan ini lebih luar biasa. Karena yang terhubung dengan anakku bukan hanya ibu, tapi juga ayahnya.
Waktu itu aku terpaksa menitipkan si kakak di rumah eyangnya (mertuaku). Aku dan suami sama-sama bekerja, sedangkan usia kakak belum cukup untuk disekolahkan, di play group sekalipun.
Suatu kali, ketika aku datang menjemput. Tak seperti biasanya, si kakak yang saat itu bisa dibilang belum mampu bicara, berlari mengambil tasnya, kemudian memelukku dan meminta untuk segera pulang.
Ia begitu mendesak. Tidak menangis, lebih pada perasaan marah yang nampak pada wajah dan gelagatnya.
Ketika membereskan barang-barang, kudengarlah suara orang yang sedang menggunjing suamiku. Suaranya sengaja dikeraskan, mungkin agar aku mendengar dan bereaksi. Makin aku dekat, makin keras ia berucap.
Kugendong saja si kakak, pamit pulang. Makanlah dosa itu untukmu, aku tak ikut campur.
Di kemudian hari kuketahui bahwa suamiku terfitnah memaki seseorang dengan ujaran sangat kasar. Syukurnya di lingkungan rumah mertua, suamiku dikenal tidak begitu. Dan banyak saksi yang mengatakan bahwa bukan suamiku pelakunya.