Untung aku sudah mendaftarkan si adek ke SD tahun lalu. Kalau kemarin ia mengulang TK dan sekarang baru akan masuk SD, tentu orangtuanya galau gara-gara pandemi. Sebagaimana orangtua lain yang anaknya seusia dengan anakku.
Aku tidak termasuk orangtua yang buru-buru memasukkan anak ke SD dengan alasan sudah bisa membaca. Atau orangtua yang ingin anaknya cepat sekolah, lekas tamat, cepat dapat kerja, cepat menikah. Tapi lama mati. Curang.
Malah anak keduaku ini belum bisa membaca ketika masuk SD. Tapi di TK, gurunya bilang ia sudah sangat siap menjadi siswa SD. Ia paham instruksi, sudah mengerti bentuk, mampu mengelola emosi, dst.
Kakaknya lain lagi. Waktu usianya masih 2 tahunan, ia sudah masuk play group. "Belajar" versi sekolah ini tentu hanya belajar berteman, menyampaikan perasaan dan ide, serta kegiatan menyenangkan lainnya.
Sebagai anak sulung ia tak punya teman. Daripada dititipkan pada orangtua (nenek mereka dari mak maupun bapaknya) yang cenderung permisif, lebih baik diajak sekolah. Sudah kupastikan, di sana tidak ada pelajaran membaca atau kegiatan lain yang membebani anak.
Di sekolah ia bermain pasir, memanjat ban, meniti jembatan, dll. Kalau boleh, mungkin mau dia menginap di sekolah dengan fasilitas outbond ramah anak, dan guru yang lembut tapi tegas.
Ketika masuk tahun ajaran baru, usia si kakak baru 5 tahun 10 bulan. Ia sudah bisa membaca. Aku tak pernah mengajarkan anak-anak membaca, apalagi sampai menarget. Yang penting mereka dikenalkan pada buku. Karena kalau sekadar bisa membaca, lalu apa?
Salah satu sebab anak sulit memahami instruksi dalam bentuk teks (bahkan kadang dalam bahasa lisan), adalah terlalu dini diajarkan membaca. Mereka mampu, tapi tidak paham apa yang dibaca. Padahal tujuan membaca adalah mengerti.
Si kakak mengulang TK B untuk tahun kedua. Total 4 tahun ia sekolah di PAUD, sudah kayak kuliah! Bukan sedang menghambur-hamburkan duit, tapi semua itu berdasarkan laporan guru dan psikolog yang memeriksanya.
Hasil tes psikologi menunjukkan si kakak superior, tapi EQ-nya masih di bawah normal. Artinya anakku belum matang emosionalnya untuk menjadi siswa SD. Â IQ itu potensi kecerdasan. Yang berpotensi belum tentu pasti, hanya berpeluang jadi.
Ketika guru menyampaikan materi, si kakak malah jalan-jalan keliling kelas. Bahkan pernah, guru mencarinya sampai ke kantor, ternyata ia tengah ngobrol dengan tukang bangunan yang sedang mengecat tembok.
Pelajaran SD yang lebih "serius" dari TK akan membuat psikisnya tertekan. Makanya kutunda memasukkan si kakak ke SD.
Psikolog juga membekaliku dengan beberapa cara untuk menguji apakah seorang anak siap menjadi siswa SD. Aku tak begitu hafal penjelasannya, tapi sekian di antaranya kutes pada anak-anak. hasilnya memang beda.
Si kakak gagal pada usia 5 tahunan, sehingga ia kudaftarkan ke SD di usia 6 tahun 10 bulan. Bahkan usia ini sebenarnya belum cukup. Tapi faktanya, si kakak malah jadi yang tertua di kelas, sejak pertama kali masuk SD hingga sekarang.
Berbeda dengan kakaknya, si adik langsung lulus dan siap jadi siswa SD pada usia 5 tahun 10 bulan. Yup, mereka lahir di bulan yang sama. Dan inilah tes yang kulakukan untuk menguji kesiapan anak-anak:
1. Minta anak berjalan maju beberapa langkah, lalu mundur di jalur yang sama. Jika anak menoleh, artinya otak anak belum mampu merekam dengan baik apa yang baru saja dilewatinya. Ini berkaitan dengan bagaimana ia menerima pelajaran di SD nanti.
2. Buat lingkaran di dinding, minta anak melempar target dari lingkaran itu dengan bola kecil. Pertama, lihat hasil bidikannya. Mungkin tidak tepat, tapi jika meleset jauh, berarti ia belum siap.
Kedua, lihat cara melemparnya. Anak siap SD melempar dengan mengangkat lengan. Jika anak melempar dengan cara mengayun, berarti ia belum siap. Ketiga, lihat tenaganya. Siswa SD seharusnya lebih kuat dari murid TK.
3. Minta anak berdiri, lalu mengangkat salah satu kakinya. Jika tidak oleng, suruh ganti kaki. Bergantian dalam jeda yang disesuaikan. Menurut psikolog di sekolah anakku dulu, anak siap SD harus mantap melakukan ini. Tidak jatuh, bahkan tidak oleng.
Alasannya? Nah itu, aku lupa. Ingat, yang menulis artikel ini hanya emak-emak biasa. Tanyakan langsung pada psikolog di kota Anda. Sembari menunggu kabar, kapan kita bisa antar anak sekolah lagi.
Rekaman jadul ketika si kakak masih usia playgroup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H