Setiap melihat foto kemesraan mereka, hatiku yang merana. "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya ...." (2: 286).
Dari ayat itu, aku yakin temanku itu sanggup melewati ujiannya. Tidak diberikan ujian itu padaku karena Dia tahu aku pasti kewalahan. Begitu pun sebaliknya, jika yang menimpaku ditimpakan kepadanya, barangkali temanku tak mampu menjalaninya.
Waktu pernikahan teman sekolahku ini tak jauh dariku, kalau tak salah ingat hanya selisih satu tahun dari pernikahanku. Hampir sepuluh tahun aku menikah, maka paling sedikit usia pernikahan mereka sekira 9 tahun.
Sampai saat ini, mereka belum dikaruniai anak. Sebab pastinya tentu karena belum diamanahi Sang Pencipta.
Ada dua hal yang pantang kutanyakan saat bertemu teman lama; sudah punya anak berapa, kerja apa suaminya. Yang pertama aku khawatir, siapa tahu yang ditanya bahkan belum menikah. Pertanyaan semacam itu hanya akan menyakiti perasaannya.
Pertanyaan kedua menurutku tak etis. Mungkin kepo adalah hal biasa, apalagi bagi perempuan. Tapi karena pekerjaan lekat dengan pendapatan, lebih baik tak usah tahu. Kalau jawabannya enak sih syukur. Khawatir dia dengan berat menjawab apa adanya, atau rela berbohong karena malu.
Padahal tak ada penting-pentingnya bagi kita mengetahui pekerjaan suami orang. Itu menurutku pribadi.
Maka ketika tiba-tiba teman ini menelepon, tak kutanyakan hal itu. Ia mengabari tentang sebuah workshop penulisan yang membutuhkan pemateri. Tentu saja ini terjadi sebelum pandemi, malah jauh sebelum itu.
Intinya aku diminta mengisi bersama seorang teman lain yang kurekomendasikan. Akhirnya kami kembali berinteraksi setelah lama berpisah.
Selama acara, aku memang tidak melihat anak kecil. Kupikir, mungkin dia sepertiku, kalau sedang menghandle acara lebih suka menitipkan anak ke keluarga. Karena aku tak bisa pecah konsentrasi antara meladeni pertanyaan anak dengan mengurusi kegiatan.
Menulis saja, aku pakai headset. Padahal tak ada lagu yang diputar, hanya agar anak-anak tahu aku sedang fokus dengan laptop.
Sampai temanku dan suaminya mengantarku pulang, aku tak melihat anak-anak. Pasangan itu juga tampak bahagia, sebagaimana yang nyaris setiap hari kulihat di postingan medsosnya.
Siapa nyana, setelah sekian pekan terpisah, ia meneleponku lagi. Temanku meminta saran, apakah harus berpisah atau mempertahankan rumah tangga mereka yang telah dijalani bertahun-tahun tanpa ada kegiatan yang pantas disebut sebuah rumah tangga.
Sebelumnya aku tak terlalu paham. Ketika ia menyebut anak, oh, ternyata belum punya anak. Ada jutaan pasangan di dunia ini, mungkin lebih, yang belum dikaruniai anak. Yang penting usaha, saranku.
Di keluarga besar suaminya, ia kerap dituding tak subur. Dari sindiran halus sampai ujaran vulgar ditujukan padanya. Sabar saja, kataku.
Bukan, ternyata bukan itu. Mereka tak punya anak karena tak pernah melakukan yang seharusnya dilakukan untuk memiliki anak. Temanku masih perawan.
Aku terhenyak.
Lalu mengalirlah curahan hatinya. Suaminya punya kelainan orientasi seksual, ia tak pernah disentuh. Bagaimana pun ia berusaha merayu, sang suami tak tergoda. Tapi dia akui, di luar hal itu, suaminya adalah orang yang baik.
Dia salah besar telah meneleponku. Aku tak punya ilmu sejauh itu. Hanya kusarankan agar ia berkonsultasi pada yang lebih berilmu. Di sana sini ada konsultan rumah tangga, atau seksolog barangkali.
Biaya pasti tak jadi soal bagi mereka. Keduanya punya penghasilan besar, dan dari dua keluarga yang mapan. Daripada jadi bahan olok-olok setiap pertemuan keluarga besar.
Aku tak pernah menghubungi untuk mengetahui kelanjutan kisahnya. Sudah kuberi nomor konsultan yang kukenal, tapi setelah kucek, ia tak pernah mendatangi konsultan itu.
Kemudian kulihat foto mesra mereka melewati timelineku. Mereka masih bersama setelah sekian tahun dari malam curhat dulu. Berarti masalahnya sudah ditemukan jalan keluar.
Lalu tanpa pernah kuhubungi, ia menghubungiku lagi. "Kami tak jadi bercerai meski Abang tak mau berobat. Mama bilang, sayang kalau bercerai, jabatan suamiku sedang bagus-bagusnya. Belum tentu ada ganti yang lebih baik darinya."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI