Saking berkesan kejadian ini, sudah berlalu puluhan tahun kenangannya masih lekat di kepalaku.
Sebagai siswa baru, aku dimasukkan ke kelas 2B, yang menurut orang-orang adalah kelas buangan. Bagiku, bahkan sekolah itu isinya anak-anak buangan yang tak tertampung di sekolah negeri atau swasta bergengsi.
Aku merupakan siswa pindahan dari luar kota. Dianggap anak desa, padahal rumahku berada tak terlalu jauh dari sekolah. Artinya anak kota juga, yang tak sengaja masuk SMP di daerah. Lalu balik ke kota lagi agar dekat dengan fasilitas pendidikan.
Gedung sekolahnya bagus, mata pelajarannya bagus. Hanya beberapa hal yang membuat sekolah ini terkesan kurang baik. Tapi sebagai alumni, aku tetap punya kesan baik pada sekolah ini.
Ruang kelas 2B terletak di puncak teratas. Diapit kantor yayasan dan kantor sekolah, bersama kembarannya, 2A. Sejak awal tahun ajaran, kami diwanti-wanti, "Jangan ribut, kalian bertetangga dengan kantor yayasan!"
Dua belas tahun sekolah, belum pernah aku merasakan sekali saja kelas hening seharian penuh. Tidak akan ada, kecuali hari libur. Di sekolah mana pun. Apalagi kami, yang sudah sejak awal dicap "siswa buangan".
Cap yang melekat pada siswa 2B distempel oleh seluruh penghuni sekolah. Pun oleh guru, bahkan oleh kami sendiri. Di kelas itu ada siswa yang pernah mengejar siswa lainnya dengan pisau. Ada yang melakukan pelecehan seksual, mencuri, dll.
Kalau kakakku tahu begitu, mungkin aku tak disekolahkan di sana. Tapi kembali lagi, itu semata bukan faktor sekolah. Menurutku faktor keluarga tetap yang utama, sebab masih ada segelintir siswa yang masih waras dan berprestasi.
Suatu hari, kelas riuh bukan main. Tumben guru tak masuk. Padahal biasanya (sebagaimana umum di sekolah swasta), jika ada guru yang izin, akan ada guru lain yang menggantikan.
Hari itu seisi kelas seperti keranjingan. Ada yang naik ke meja, ada yang berlarian, lempar-lemparan kertas. Tak ada satu pun yang diam. Yang tak ke sana kemari sibuk menertawakan ini itu. Aku ada di antara kelompok yang paling ribut.