Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berharap New Normal hanya seperti Sebelum dan Sesudah Ramadan

29 Mei 2020   11:14 Diperbarui: 29 Mei 2020   11:24 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi new normal/tribunnews.com

Gara-gara seorang rektor mengaku sembuh dari Covid-19 dengan minyak kayu putih, aku jadi lumayan terpengaruh teori konspirasi tentang pandemi yang saat ini terjadi. Terlalu panjang kalau dibahas soal konspirasi, dari Cina sampai Microsoft.

Tapi yang paling kusayangkan adalah, kenapa aku selalu lupa beli minyak kayu putih, padahal di rumah sudah habis. Sekarang pasti harganya naik tinggi. Pilihannya jadi mahal saja seperti jahe, atau langka dulu seperti hand sanitizer.

Entah virus Corona benar telah dimodifikasi tangan manusia atau mutasi oleh alam, yang jelas Covid-19 itu nyata ada. Demikian pula dengan efeknya, yang tak kalah memusingkan dari penyakit itu sendiri.

Dalam perjalanan pulang dari pasar tradisional, seorang ibu mampir ke rumah. Dia bilang kami ini terlalu penakut jadi orang, silaturahmi lebaran ke rumahnya saja tak mau. Lihatlah dia, hampir tiap hari ke pasar (dan mampir pula ke rumahku!) nyatanya sehat-sehat saja.

Ia juga mengaku pusing, tak tentu apa yang mau dikerjakan setiap hari. Anak tak sekolah, suami tak kerja. Waktu seperti mengalir tak jelas juntrungan. Itu semua karena ketakutan yang berlebihan. Kali ini kepercayaan dirinya memberi efek positif padaku.

New normal ini bikin gila! Kira-kira begitu keluhannya.

Dengan sok bijaksana kubilang, jangan menunggu, lakukan yang bisa dilakukan sekarang. Inilah new normal itu. Walau aku sendiri ketar-ketir, mau mulai dari mana. Tapi kalau kuungkapkan, kami bisa gila berjamaah dong!

Menjelang pulang, ia cerita lagi kalau saat ia pergi ke pasar, anak-anak dan suami tengah tidur. Nanti malam hingga larut mereka begadang, begitu setiap hari.

"Ini kan masa transisi dari Ramadan menuju tengah Syawal. Tanpa Corona juga begini alurnya. Nanti kalau sudah sekolah lagi, semua akan berjalan seperti biasa lagi."

"Nah sekolah itu kapan?"

Aku tidak tahu. Tapi sebagai wali murid, aku justru ingin sekolah diliburkan hingga Corona benar-benar reda sepenuhnya. Nol kasus se-Indonesia. Tak apa sampai akhir tahun sekalipun.

Sebab terlalu riskan. Dalam satu hari, satu anak bisa berinteraksi hingga dengan seratus orang. Bertemu teman, guru, pedagang, dll. Ada ribuan benda berisiko yang mereka sentuh selama satu hari sekolah.

Tapi bukan aku seorang kan yang punya anak masih sekolah. Bisa jadi wali murid lain justru berpendapat sebaliknya. Keadaan ini memang mengaduk-aduk kondisi psikis kita.

Untuk membesarkan hati kukatakan pada diri sendiri, anggaplah new normal itu peralihan Ramadan dalam skala besar. Sekarang orang masih terbawa-bawa tidur siang yang lebih panjang dan melek lebih lama di malam hari.

Perlahan semua akan kembali pada kebiasaan seperti sebelumnya. Siang beraktivitas malam istirahat.

Selama pandemi kita akan lebih sedikit beraktivitas di luar. Ke mana-mana mengenakan masker, otomatis menjaga jarak, beli makanan untuk dibawa pulang-bukan makan di tempat. Sampai 2022, perkiraan pandemi tuntas di Dunia.

Lalu kita terbiasa dengan keseharian seperti itu, menganggap itulah kondisi normal, meski tahu dulunya tidak seperti itu. Lalu kebutuhan kita sebagai makhluk sosial yang suka berinteraksi dan berkumpul mempertemukan kita lagi.

Datanglah generasi baru yang menertawakan orang-orang di masa lampau. Orang-orang tua yang terlalu serius menanggapi virus Corona, padahal hanya bikin flu dan bisa ditangkal dengan jamu. Bisa disembuhkan pula dengan minyak kayu putih.

Semua kembali normal senormal-normalnya, sampai wabah berikutnya datang lagi. Entah dari kelelawar, rekayasa genetik, tentara yang mampir ke negara orang, laboratorium bocor, kerjaan pebisnis ulung, imajinasi penulis konten, atau apa pun.

Mereka lalu mempelajari wabah yang pernah terjadi di akhir 2019. Tobat, bersih-bersih bumi, jutaan orang wafat dengan atau tanpa catatan terpapar wabah, lalu normal kembali. Dst.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun