Sebab terlalu riskan. Dalam satu hari, satu anak bisa berinteraksi hingga dengan seratus orang. Bertemu teman, guru, pedagang, dll. Ada ribuan benda berisiko yang mereka sentuh selama satu hari sekolah.
Tapi bukan aku seorang kan yang punya anak masih sekolah. Bisa jadi wali murid lain justru berpendapat sebaliknya. Keadaan ini memang mengaduk-aduk kondisi psikis kita.
Untuk membesarkan hati kukatakan pada diri sendiri, anggaplah new normal itu peralihan Ramadan dalam skala besar. Sekarang orang masih terbawa-bawa tidur siang yang lebih panjang dan melek lebih lama di malam hari.
Perlahan semua akan kembali pada kebiasaan seperti sebelumnya. Siang beraktivitas malam istirahat.
Selama pandemi kita akan lebih sedikit beraktivitas di luar. Ke mana-mana mengenakan masker, otomatis menjaga jarak, beli makanan untuk dibawa pulang-bukan makan di tempat. Sampai 2022, perkiraan pandemi tuntas di Dunia.
Lalu kita terbiasa dengan keseharian seperti itu, menganggap itulah kondisi normal, meski tahu dulunya tidak seperti itu. Lalu kebutuhan kita sebagai makhluk sosial yang suka berinteraksi dan berkumpul mempertemukan kita lagi.
Datanglah generasi baru yang menertawakan orang-orang di masa lampau. Orang-orang tua yang terlalu serius menanggapi virus Corona, padahal hanya bikin flu dan bisa ditangkal dengan jamu. Bisa disembuhkan pula dengan minyak kayu putih.
Semua kembali normal senormal-normalnya, sampai wabah berikutnya datang lagi. Entah dari kelelawar, rekayasa genetik, tentara yang mampir ke negara orang, laboratorium bocor, kerjaan pebisnis ulung, imajinasi penulis konten, atau apa pun.
Mereka lalu mempelajari wabah yang pernah terjadi di akhir 2019. Tobat, bersih-bersih bumi, jutaan orang wafat dengan atau tanpa catatan terpapar wabah, lalu normal kembali. Dst.