Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Apa Dasar Kita Membagi Tugas Rumah Tangga?

24 Mei 2020   19:45 Diperbarui: 26 Mei 2020   01:05 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembagian tugas pasangan di dalam rumah tangga baiknya didasarkan pada fungsi fitrah manusia| Photo by Jessica Rockowitz on Unsplash

Dalam sebuah acara literasi, aku satu kamar dengan salah seorang utusan Bengkulu. Setiap kali aku naik ke tempat tidur sambil menyalakan film dokumenter atau drama Eropa, tahu-tahu ketika bangun sudah berganti sinetron atau gosip Indonesia.

"Aku dak suko yang barat-barat," katanya. Dialek kami yang sesama Sumatra langsung nyambung sejak awal pertemuan.

Yang lebih berkesan dari sekadar kebiasaannya memindah channel, adalah komentarnya ketika menanggapi sebuah acara gosip. Waktu itu TV memberitakan tentang selebritas yang bercerai.

Pada sesi wawancara, mantan istri salah seorang aktor mengemukakan pendapat bahwa ia lebih berhak atas anak-anak, karena ia yang melahirkan mereka.

"Aku paling benci kalo betino ngomong 'aku berhak karena aku yang melahirkan.' Mun pacak laki kau melahirke, dilahirke anak tu!"

Sontak aku tertawa mendengarnya. Aku paling benci kalau perempuan ngomong "aku berhak karena aku yang melahirkan." Kalau bisa suamimu melahirkan, dilahirkannya anak itu!

Sebagai perempuan, ia berada pada posisi adil. Biasanya kan perempuan akan langsung setuju pada statement "berhak karena melahirkan" itu.

Tapi senada dengannya, aku pun meyakini bahwa pembagian tugas pasangan di dalam rumah tangga didasarkan pada fungsi fitrah manusia. Bukan berdasarkan keumuman yang kadung luas di masyarakat.

Perempuan ditakdirkan melahirkan, karena ia yang diciptakan memiliki rahim. Laki-laki dilebihkan fisiknya (kulit lebih tebal, tenaga lebih kuat, dll) sesuai dengan tanggung jawabnya yang tak kalah besar, sebagai "pemburu", yakni mencari nafkah.

Dengan keadaan fisiknya, laki-laki dititahkan Tuhan lebih banyak berada di luar. Sebagai pelindung dan pencari penghidupan.

Memiliki rahim tak ada hubungannya dengan memasak atau mengepel lantai. Justru yang punya tenaga lebih kuat seharusnya mampu mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mengangkat air, mengepel lantai, menyapu halaman, dsb.

Waktu SD, kalimat yang bolak-balik dipakai oleh penulis buku pelajaran dalam sebuah contoh kalimat adalah "Ibu menggoreng ikan di dapur, Ayah membaca koran di ruang tamu."

Sejak SD pula aku menolak pakem ini. Bagaimana tidak, pemandangan sehari-hari yang kulihat di rumah, jauh dari yang tertulis di buku itu.

Bapakku suka di dapur, masak apa saja. Dari dapur, beliau akan beralih ke halaman, mencabuti rumput liar. Bukan berarti Mamak kemudian ongkang-ongkang, beliau mengurusi warung yang menghidupi kami. Belanja pagi-pagi sekali lalu berjualan berbagai kebutuhan rumah tangga di bagian terdepan rumah kami.

Tidak ada pembagian tugas berdasarkan gender. Abangku yang kedua sering menyapu halaman dan mencuci piring, tapi ia juga bekerja dan mempunyai pendapatan untuk membantu orangtua. 

Begitu pula dengan kakak-kakak perempuan, mereka bekerja untuk mendapatkan penghasilan dan melayani penghuni rumah dengan mencuci pakaian dsb.

Semua baik-baik saja, kami hidup dengan normal.

Pembagian tugas yang sesuai fitrah menyebabkan laki-laki secara spontan hadir sebagai pelindung di rumahnya. Demikian pula perempuan, seperkasa apa pun, mereka adalah makhluk penuh kasih. Perasaan yang lebih dominan ketimbang logika menjadikan mereka tempat yang nyaman untuk anak mengadu.

Jadi, sudah tak cocok lagi menyebut-nyebut kelebihan yang sebenarnya sudah ditakdirkan sejak awal kepada semua orang, baik soal melahirkan maupun tentang memberi makan.

Kalau laki-laki pakai cara yang sama, para suami bisa balas. "Oke kamu punya rahim, tapi kalau tak ada yang meletakkan bakal janin di dalamnya, emang bisa jadi bocah?"

Syukurnya laki-laki jarang punya refleks adu omel begitu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun