Dalam sebuah acara literasi, aku satu kamar dengan salah seorang utusan Bengkulu. Setiap kali aku naik ke tempat tidur sambil menyalakan film dokumenter atau drama Eropa, tahu-tahu ketika bangun sudah berganti sinetron atau gosip Indonesia.
"Aku dak suko yang barat-barat," katanya. Dialek kami yang sesama Sumatra langsung nyambung sejak awal pertemuan.
Yang lebih berkesan dari sekadar kebiasaannya memindah channel, adalah komentarnya ketika menanggapi sebuah acara gosip. Waktu itu TV memberitakan tentang selebritas yang bercerai.
Pada sesi wawancara, mantan istri salah seorang aktor mengemukakan pendapat bahwa ia lebih berhak atas anak-anak, karena ia yang melahirkan mereka.
"Aku paling benci kalo betino ngomong 'aku berhak karena aku yang melahirkan.' Mun pacak laki kau melahirke, dilahirke anak tu!"
Sontak aku tertawa mendengarnya. Aku paling benci kalau perempuan ngomong "aku berhak karena aku yang melahirkan." Kalau bisa suamimu melahirkan, dilahirkannya anak itu!
Sebagai perempuan, ia berada pada posisi adil. Biasanya kan perempuan akan langsung setuju pada statement "berhak karena melahirkan" itu.
Tapi senada dengannya, aku pun meyakini bahwa pembagian tugas pasangan di dalam rumah tangga didasarkan pada fungsi fitrah manusia. Bukan berdasarkan keumuman yang kadung luas di masyarakat.
Perempuan ditakdirkan melahirkan, karena ia yang diciptakan memiliki rahim. Laki-laki dilebihkan fisiknya (kulit lebih tebal, tenaga lebih kuat, dll) sesuai dengan tanggung jawabnya yang tak kalah besar, sebagai "pemburu", yakni mencari nafkah.
Dengan keadaan fisiknya, laki-laki dititahkan Tuhan lebih banyak berada di luar. Sebagai pelindung dan pencari penghidupan.
Memiliki rahim tak ada hubungannya dengan memasak atau mengepel lantai. Justru yang punya tenaga lebih kuat seharusnya mampu mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mengangkat air, mengepel lantai, menyapu halaman, dsb.