Beberapa akun medsos membagikan foto dan video pasar maupun mall. Memperlihatkan orang-orang yang berdesakan membeli bahan makanan maupun pakaian baru. Asli ngenes!
Agak maklum untuk yang ramai ke pasar tradisional. Pasti kering lebaran tanpa rendang dan aneka masakan yang tidak kita nikmati sehari-hari. Meski esensi Idulfitri sebenarnya bukan itu. Tapi yang ramai memenuhi mall dan toko baju, bahkan membawa anak, itu pasti ada yang salah dengan akalnya!
Idulfitri adalah hari raya umat Islam, wajar kita merayakannya dengan penuh suka cita. Malah sudah seharusnya. Membahagiakan keluarga dengan hidangan yang lebih dari biasanya juga dicontohkan Nabi.
Memakai pakaian terbaik dan saling mengunjungi juga dilakukan oleh beliau shallallahu 'alayhi wasallam. Tapi ....
Pertama, kondisinya berbeda. Kita saat ini sedang menghadapi pandemi yang butuh cara sederhana agar masa ini cepat berlalu; lebih banyak di rumah.
Kedua, perlu dipahami bahwa Nabi mengenakan pakaian terbaik. Bukan pakaian baru. Jadi tidak ada kewajiban untuk membeli setelan baru setiap lebaran.
Apalagi di masa wabah di sejumlah daerah justru naik tajam, membeli pakaian baru seharusnya menjadi hal yang tak terpikirkan oleh kita. Seharusnya!
Sebab jika sudah membeli pakaian baru, kecil kemungkinan tidak dipakai jalan-jalan. Momen lebaran, ada baju baru, ya jelas kelayapan!
Aku pribadi sudah mewanti-wanti lewat FB, dengan mengatakan "Insyaallah tidak ke mana-mana" (kecuali mungkin ke rumah mertua dan kakak-kakak yang dekat). Dan "pikir baik-baik jika ingin bertandang, kami tak siapkan apa-apa". Tidak lugas, demi menjaga ketimuran.
Tapi yang pandai memahami kata, mereka akan tahu bahwa aku menolak kedatangan tamu di hari Lebaran. Bahkan sejak kemarin-kemarin, sampai pandemi ini berakhir. Bukan semata melindungi diri dan keluarga dari Corona. Tapi ya demi kita semua!
Biasanya penjual siomay, baik yang berjalan kaki maupun yang bermotor, mengurangi kecepatan saat melintas di depan rumahku. Mereka menoleh, berharap. Seringnya harapan itu tak sia-sia.
Sejak covid-19 mewabah, mereka menoleh, tapi seolah sadar akan kecewa. Awal-awal masih berdagang, lalu sekarang hilang. Semoga itu karena Ramadan saja. Habis lebaran, selesai pandemi, semoga rezeki kita deras lagi.
Masih ada tukang kue pagi hari yang meneriakkan menu di gerobaknya. Ibu-ibu membawa lauk masak di maticnya, pedagang es bubur sum-sum yang biasanya tiap pulang sekolah kami sambangi. Mereka semua sadar diri, orang mikir keras mau jajan!
Sempat muncul harapan ketika kasus positif di DKI perlahan melambat. Optimis habis lebaran kita bisa kumpul lagi. Apa daya, bandara tahu-tahu padat. Dan yang paling mengherankan, toko baju masih diserbu ibu-ibu yang kurasa turut berbinar saat mendapat bantuan sembako.
Sebelum menutup tulisan ini, beredar video di Twitter. Seorang tenaga medis yang tengah hamil empat bulan terinfeksi Corona. Kondisinya kritis. Ketika korban dibawa rekannya menuju ruang lain, rekan yang tinggal di belakang tak mampu menahan tangis.
Sekarang masalah kita bukan hanya krisis ekonomi, krisis pangan, atau kehidupan yang tak tentu di depan. Tapi krisis empati. Di tengah wabah sebesar ini, bisa-bisanya kehilangan nurani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H