Ia juga rajin ke masjid saat itu. Membuat aku pun turut bersyukur meski tak ada urusannya denganku.
Pelajaran yang kuambil dari Edison adalah, harga diri laki-laki memang ada pada nafkahnya. Maksudku usaha, bukan besarannya. Sebab disebut besar atau kecil pemasukan, tentu dipengaruhi oleh pengeluaran.
Karena kebutuhan rumah tangga lebih sering dipenuhi ibu dan abang kandungnya daripada suami, istri ketiga Edison merasa kuasa. Aku tak berpihak. Satu sisi itu salah, di sisi lain secara psikologis itu normal.
Menikah dengan istri ketiga ini, Edison tidak melalui proses lamaran normal. Mereka kabur entah ke mana, lalu pulang membawa anak. Ketika mereka berpacaran, Edison masih berstatus suami orang. Jadi pada dasarnya Edison punya bakat selingkuh.
Maka ketika ia punya masalah di rumah tangga yang ketiga itu, ia punya alasan untuk kembali dekat dengan anak gadis orang. Mungkin semacam pelarian.
Untuk yang ketiga kali, ia kembali meninggalkan anak-istri tanpa kabar. Lalu suami-istri itu bertengkar via SMS, dan berujung talak.
Istri ketiga Edison curhat padaku ketika Edison berniat kembali. Aku tak punya pengalaman, tapi melihat track record Edison yang belakangan berprofesi sebagai sopir dan gonta-ganti pacar, aku khawatir Edison justru pulang untuk menularkan penyakit.
Sebelum Edison menjatuhkan talak, seorang gadis mengonfirmasi sebuah kejadian pada istrinya. "Dahi Abang biru kan waktu itu? Itu bukan karena jatuh, tapi dia kejedot pintu kamar hotel. Kami nginap di sana malam itu."
Yakin mau bersatu kembali dengan laki-laki yang seroyal itu dengan kelamin?
Istri Edison mengaku padaku bahwa keributan mereka karena salahnya yang suka memaki suami, berkata kasar, dst. Keputusan kuserahkan padanya. Aku cuma memberi saran. Setiap menikah, ia tak pernah pakai jalur normal.
Setelah menikah pun, terlalu lunglai untuk urusan nafkah. Tapi tetap, ada andil istri juga yang membuatnya tak berubah. Atau berubah sebentar lalu kembali seperti dulu lagi. Akhirnya mereka resmi berpisah.