Ketika ayat tentang munafik turun, para sahabat Nabi gundah gulana. Mereka cemas, hatinya merasa tak aman. Apakah yang dimaksud Allah dalam ayat itu adalah aku?
Akhirnya banyak dari sahabat tadi yang mendatangi rumah Rasulullah saw untuk menanyakan langsung. Saking mereka takut. Jika yang dimaksud ayat itu adalah mereka, apa yang harus mereka lakukan agar bebas dari vonis munafik dari Allah?
Tapi ada orang-orang, yang ketika ayat tentang munafik turun, merasa tenang. Mereka tidak khawatir, justru merasa aman dari sifat tersebut.
Dan pada akhirnya, Nabi memberi kabar pada para sahabat yang datang ke rumah beliau. Yang munafik justru mereka yang tenang-tenang saja. Tidak khawatir dengan hatinya.
Memvonis Orang Lain Munafik
![facebook.com/jati.liwang](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/26/6-1-5ea4ee03097f366b8958d402.jpg?t=o&v=770)
Lebih mengherankan lagi, ada label munafik yang diberikan kepada mereka yang berani ke pasar tapi enggan ke masjid. Semudah itu ya!
Jangankan ulama di MUI, sahabat Nabi saja kalah dibuatnya. Orang saleh khawatir disebut munafik oleh Allah, sedangkan dia merasa saleh, hingga berani menyebut orang lain munafik.
Apa dia kira orang-orang yang ke pasar melakukannya lima kali dalam sehari? Apa dia pikir semua orang punya kondisi yang sama hingga tak perlu ke pasar untuk memenuhi kebutuhan hidup?
Setiap ayat tentang munafik turun, tidak ada sahabat Nabi yang menunjuk saudaranya sebagai munafik. Yang ada, mereka sibuk mengoreksi diri, jangan-jangan itu ayat tentang aku.
Karena dampak buruk orang-orang munafik sangat besar, sehingga dalam surah al-Baqarah saja, bahasan tentang munafik melebihi banyaknya pembahasan tentang mukmin dan kafir.
Tak main-main ganjaran yang Allah beri pada kaum munafik; dasar neraka. Jadi daripada menyebut si ini atau si itu bakal jadi kerak neraka. Mending berusaha agar diri sendiri tak masuk golongan itu. Lebih masuk akal kan?
Mempermalukan Agama
![facebook.com/nusragen.online](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/26/5-5ea4ed41d541df58947d8fa2.jpg?t=o&v=770)
Bagaimana jika disebut bukti kurang ilmu, bukti tak peduli keselamatan orang lain, atau bukti kerasnya hati? Sst, jangan ikut-ikutan memvonis!
Alhamdulillah, menurut keterangan wali kota, ybs segera dijemput paksa untuk diobati di rumah sakit. Bersyukurlah dia tinggal di Indonesia, dipaksa untuk diobati. Coba kalau di Korea Utara!
Belakangan, baik skala kota maupun provinsi, jumlah yang positif Covid19 melonjak naik. Lebih dari tiga per empatnya, adalah klaster Gowa. Ini pula yang membuat banyak warganet setempat menggerutu.
Yang tadinya optimis dengan wudu dan zikir, pada akhirnya tergoyahkan oleh fakta di depan mata. Satu orang pulang dari Sulsel sana, bawa pulang "oleh-oleh" untuk keluarga, bahkan rekan kerja pasangannya.
Orang yang tak begitu paham duduk persoalan tentu mudah saja mengindetikkan kelompok tertentu pada kelompok lain yang menurutnya sama.
Lihat India! Sebelum virus Corona ikut mewabah di sana, telah terjadi kerusuhan berbau agama. Ditambah kasus "kumpul ramai-ramai" ini, makin menjadilah kerusuhan itu. Siapa yang bertanggung jawab jika sudah begini?
Menarik apa yang diucapkan salah seorang bapak, ketika datang bersama polisi dalam rangka mencegah penyelenggaraan Jumatan di sebuah masjid. "Kalau bapak-bapak dari sini tertular, kemudian menularkan tetangga, lalu tetangga itu meninggal. Bapak bertanggung jawab di hadapan Allah!"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI