Ketika ayat tentang munafik turun, para sahabat Nabi gundah gulana. Mereka cemas, hatinya merasa tak aman. Apakah yang dimaksud Allah dalam ayat itu adalah aku?
Akhirnya banyak dari sahabat tadi yang mendatangi rumah Rasulullah saw untuk menanyakan langsung. Saking mereka takut. Jika yang dimaksud ayat itu adalah mereka, apa yang harus mereka lakukan agar bebas dari vonis munafik dari Allah?
Tapi ada orang-orang, yang ketika ayat tentang munafik turun, merasa tenang. Mereka tidak khawatir, justru merasa aman dari sifat tersebut.
Dan pada akhirnya, Nabi memberi kabar pada para sahabat yang datang ke rumah beliau. Yang munafik justru mereka yang tenang-tenang saja. Tidak khawatir dengan hatinya.
Memvonis Orang Lain Munafik
Lebih mengherankan lagi, ada label munafik yang diberikan kepada mereka yang berani ke pasar tapi enggan ke masjid. Semudah itu ya!
Jangankan ulama di MUI, sahabat Nabi saja kalah dibuatnya. Orang saleh khawatir disebut munafik oleh Allah, sedangkan dia merasa saleh, hingga berani menyebut orang lain munafik.
Apa dia kira orang-orang yang ke pasar melakukannya lima kali dalam sehari? Apa dia pikir semua orang punya kondisi yang sama hingga tak perlu ke pasar untuk memenuhi kebutuhan hidup?
Setiap ayat tentang munafik turun, tidak ada sahabat Nabi yang menunjuk saudaranya sebagai munafik. Yang ada, mereka sibuk mengoreksi diri, jangan-jangan itu ayat tentang aku.