Setelah membaca artikel yang kubagikan, seorang kawan mengirim pesan pribadi, "sama persis dengan sodaraku!" katanya.
Beberapa menit sebelum membaca pesannya, aku membaca berita tentang seorang bapak yang berkeliling menawarkan HP rusak untuk membeli beras. Kelima anaknya belum makan, ia tak punya pekerjaan selama pandemi ini.
Kejadian itu di Batam. Syukurnya pemerintah dan masyarakat setempat segera memberi bantuan.
Begitulah, tidak ada yang sia-sia jika kita mau berusaha. Si bapak di Batam itu, tidak datang ke rumah-rumah untuk mengemis, tapi ia berusaha melakukan transaksi. Meski agak tak masuk akal.
Tak masuk akal, tapi masuk ke hati orang yang berperasaan.
Beda dengan orang-orang yang memanfaatkan hati orang lain dengan akalnya yang brilian. Seperti yang kusebutkan di paragraf awal.
Si kawan ini, punya ibu yang mirip dengan mamakku. Mudah kasihan.
Memang Mamak dan ibu kawanku tak miskin gara-gara sering membantu orang. Tapi yang dibantu lama-lama tak merasa ada yang salah dengan aktivitas memintanya. Lagi dan lagi sampai lupa bahwa ia masih punya fisik dan kesehatan yang sempurna.
Orang-orang ini jadi terlalu bergantung. Jika ditegaskan sedikit saja, langsung merasa dizalimi. Akibatnya kita yang tervonis sebagai antagonis. Sementara inang yang mereka isap, mengadu pada kita.
Inang yang plin-plan dan parasit yang makin manipulatif membuat kita yang menonton hanya bisa geregetan.
Begitulah, tidak ada yang bisa lakukan kecuali belajar mengabaikan. Terserah kalian deh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H