Kusebut telur padang karena hampir hanya ada di rumah makan padang. Atau Kerinci mungkin, karena agak sulit membedakan rumah makan Padang dan rumah makan Kerinci. Yang jelas di warung lauk rumahan (mungkin di tempat lain disebut warteg), tidak pernah ada.
Jika Mamak menginap di rumahku, kubelikan tahu di pasar terdekat. Telur nyaris selalu ada di rumah kami, stok selalu dijaga. Setahuku telur padang dibuat dari telur dan tahu. Bumbu lainnya entahlah, aku tak pandai memasak.
Pernah sekali membuat sendiri, hasilnya buyar. Ternyata rahasianya di tepung. Harus pakai tepung, untuk mengikat tahu dan telur. Begitu pesan Mamak.
Beliaulah yang biasanya membuat menu telur padang untuk kami. Buat sampai tiga lingkaran, tetap ludes sebentar saja. Anak-anak suka nambah, sedangkan aku kalau makan cukup sedikit. Nasinya.
Selain tak begitu tertarik dengan urusan dapur, aku juga kerap kalah cepat untuk mengintip bagaimana Mamak membuat telur padang. Terdengar bunyi batu giling beradu, lalu tahu-tahu tercium aroma makanan favorit itu.
Beberapa hari ini, Mamak pindah ke rumah anaknya yang lain. Memang begitu kebiasaannya. Aku pun kehilangan koki telur padang di rumah.
Eh bukan aku mbabui orangtua ya. Memang kebiasaan Mamakku itu yang tak bisa diam. Jika diminta beristirahat, malah lesu katanya kalau banyak diam.
Sudah sebulan kami tak pernah beli nasi padang, jajan pun jarang. Demi menjaga diri dari virus Corona. Akhirnya suamiku berinisiatif membuat telur padang sendiri. Suamiku juga suka berkreasi di dapur, tapi tentu tak sehebat mertuanya.
Dan lihatlah hasil telur padang buatannya, lebih mirip bakwan tahu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H