Kejadiannya sebelum Corona (disadari) masuk ke Indonesia.
Lagi, seseorang curhat padaku kalau dia suka membaca tapi enggak bisa nulis. Makin bertambahlah rasa syukurku, segampang dan senikmat ini dikasih hobi.
Dari bagaimana kami mulai ngobrol padahal belum kenal sama sekali, aku menganalisis kenapa cewek cantik itu sudah lama suka membaca tapi belum juga bisa menulis.
Memasuki ruang rapat Komite Ekraf, baru ada tiga orang di sana. Padahal yang diundang lebih dari 70. Dan aku termasuk yang telat beberapa menit karena salah lantai dan ruang.
Gak aneh, aku kan tukang nyasar.
Begitu masuk, Pak Ketua langsung menyambut. "Nah ini Tari, penulis. Beliau ini dulu yang mendirikan FLP Jambi, dan bla bla bla ..." yang kadang si Abang lebay kalau naikin martabat kawan.
Akhirnya aku duduk di sebelah mbak yang lebih dulu hadir. Kami berjabat tangan, kenalan. Lalu si mbak ngajak ngobrol. Aku langsung konek karena dijembatani Pak Ketua yang biasa kupanggil Abang.
Sedangkan mbaknya langsung cerita panjang lebar tentang hobi dan soal ketidakmampuan menulis tadi.
Nah, melihat ia yang santai saja memulai obrolan, dan sangat responsif, aku menebak dia berkepribadian ekstrovert. Karena si mbak begitu komunikatif dengan orang yang baru saja ia kenal, artinya dia memang suka ngobrol.
Beda dengan aku yang lebih suka ngobrol dengan diri sendiri di dalam kepala. Lalu menuangkannya di kertas atau di gawai, tapi dalam kondisi luring (offline). Mungkin itu semacam latihan yang tidak disengaja.
Tanpa didorong-dorong apalagi ditodong, menulis adalah kebutuhanku. Bahkan waktu masih ngantor dulu, aku merasa lebih nyaman berada di ruanganku, berduaan dengan laptop.
Daripada harus keluar bertemu orang lain dan menjelaskan ini itu atau menyimak penjelasan mereka dengan lebih dulu menyiapkan ini itu. Bukan introvert, ini sih bawaan males!
Baik introvert maupun ekstrovert, kita sama-sama butuh menyampaikan pikiran dan perasaan. Hanya caranya yang berbeda.
Ekstrovert terkesan periang dan gaul. Introvert adalah si pemikir yang tampak serius. Padahal kadang kami cuma mikirin, enaknya makan apa?
Dulu aku merasa agak minder karena sulit beradaptasi terhadap lingkungan baru. Tapi untuk latihan, ya Allah ... beratnya!
Padahal bagi seorang ekstrovert, apa sih susahnya ngajak orang kenalan, ngobrol apa saja. Senyum, tawarin makanan.
Nah, semudah itulah menulis menurutku! Hai kalian yang tukang ngobrol, susah kan memulai tulisan? Begitulah sulitnya kami memulai obrolan. Satu sama!
Kalau saja memasuki ruang rapat tadi aku tidak disambut dan dikenalkan pada mbak yang sekarang aku sudah lupa namanya, mungkin aku hanya akan sibuk dengan HP dan dicap sombong seperti yang sudah-sudah.
Karena kelemahan inilah, aku bisa berprasangka baik pada orang-orang yang menurutku berisik dan banyak tingkah di sebuah pertemuan. Mungkin memang kebutuhan mereka untuk pecicilan begitu.
Ketika para ekstrovert merasa berjihad karena tetap di rumah selama wabah Covid-19, kami yang introvert justru berjuang menenangkan hati. Yang mana sejak virus Corona berulah, rumah jadi ramai sepanjang hari.
Oke, selama WFH ini, kamu yang hobi nyerocos lebih baik buat vlog untuk ajak ngobrol orang di seluruh dunia. Biarkan artikel jadi wilayah kami.
Kepada mbak itu dan sebangsanya, kemarin rasanya aku hanya kebagian menyimak, belum kasih saran apa pun. Kalau sekarang kamu baca, mending bikin vlog atau podcast aja ya! Gak usah belajar nulis, berat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H