Waktu kecil aku berambut pendek. Agar anaknya tampak lebih perempuan, orangtua memakaikanku anting-anting. Bahkan sampai dewasa muda, setiap kali pakai anting-anting, aku pasti kehilangan benda itu.
Sampai kapan pun, harga emas itu mahal. Jadi kasihan orangtua dan kakak-kakakku kalau setiap hilang harus beli lagi. Pakai sebelah saja (karena yang hilang biasanya cuma sebelah) tidak boleh. Malah kayak preman, kata mereka.
Dipakaikan yang bukan emas, alamat gatal-gatal! Jadi kubiarkan lubang di telinga menganggur. Setelah pakai jilbab, makin tak berguna itu lubang.
Pada sebuah pengalaman yang bukan milikku. Seorang teman yang bekerja sebagai pengasuh anak di sebuah Rumah Balita, pernah perang dingin dengan bos dan salah satu wali. Saat seorang anak dititipkan padanya, anak itu memakai anting-anting. Ketika dijemput, anting si anak tinggal sebelah.
Akhirnya tertuduhlah sang pengasuh. Ketika di hari berikutnya sebelah anting itu ditemukan, tuduhan justru makin meruncing. Lah?
DikasihaniÂ
Ketika si Kakak masih bayi, terlihatlah ia tidak mengenakan anting-anting. Kupakaikan jilbab semata agar ia terbiasa tertutup. Saat di dalam rumah, ya dibuka. Ketika di luar rumahku dan ia kegerahan, kubuka juga. Karena prinsipnya untuk pembiasaan.
Tapi ada orang lain yang merasa punya insting detektif. Menurutnya, jilbab dipakaikan untuk menutup telinga yang tak ada tindiknya. Lalu disesalkanlah kenapa aku tidak menindik telinga anak perempuanku. Padahal aku gak makan beras dari dia.
Lebih ngeselin lagi, ketika seseorang dengan wajah sendu melihat pada si Kakak, lalu bilang, "Beli anting yang setengah gram be dak mahal lah."
Ingin kuberkata kasar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H