Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tukang Bakso di Negara Halu

1 Maret 2020   21:11 Diperbarui: 1 Maret 2020   21:29 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah kelas bisnis, coach memberi contoh sederhana perbedaan antara pedagang dan pebisnis. Lebih kurang begini: Si A dan B sama-sama pedagang bakso. Awalnya keduanya memiliki satu gerobak yang didorong keliling kampung.

Sepuluh tahun kemudian, A sudah memiliki ruko. Tinggal dan berjualan di sana. Sedangkan B, ia punya satu ruko dan lima cabang warung bakso. A tetap menekuni usaha baksonya, membuat dan menjual. Beda dengan si B. Ia mempercayakan bisnisnya pada karyawan dan fokus pada pengembangan usaha.

Jadi, A adalah pedagang sedangkan B adalah pebisnis.

Tiba-tiba aku pun merasa salah masuk kelas. Jika disuruh memilih, aku justru merasa nyaman jadi si A. Menekuni yang sudah ada. Uang yang berkarung-karung (di kepalaku) bisa ditabung atau dibelikan tanah yang harganya gak mungkin turun.

Dengan begitu aku masih punya waktu untuk baca buku, jalan-jalan, atau ngobrol santai dengan keluarga. Bandingkan kalau jadi si B. Pasti hidupku akan penuh pertaruhan. Setiap hari diburu tagihan, bayar angsuran bank, pajak, belum lagi tiap bulan bayar gaji, tiap tahun bayar sewa ruko untuk beberapa cabang.

Prasangkaku mengatakan, B punya banyak rekan bisnis yang jika mengadakan pertemuan mesti bermewah-mewah untuk menunjukkan kelasnya. Mereka bercerita tentang peluang dan perkembangan usaha masing-masing. Tapi ini hanya prasangkaku, kan aku bukan pebisnis.

Aku yang gak jualan bakso tapi lebih suka jadi si A, akan memilih berteman dengan banyak orang dan menyaring mana yang tepat dijadikan sahabat. Bisa ngumpul cuma modal kuaci, haha hihi tanpa mikirin gengsi. Nongkrong bareng tanpa nunggu ada kepentingan khusus.

Pada sesi berikutnya, coach lain menyampaikan hal yang lebih mengerikan lagi. Jadi pebisnis harus siap tanggung risiko. Hari ini untung besar, besok bisa jadi rugi besar. Setiap hari harus siap kalau sewaktu-waktu bangkrut. Aduh, belum kaya aja aku sudah jiper duluan. Alih-alih merasa tertantang, malah yakin benar-benar salah masuk kelas.

Itulah yang dinamakan mental. Kalau mental ini terhubung ke bakat, artinya aku gak berbakat jadi pebisnis. Tapi apakah kaya itu harus dari bisnis? Dan apakah kaya itu harus berupa harta? Bagaimana jika harta yang banyak itu belum semuanya lunas? Lalu, dengan harta yang banyak apakah itu jaminan kebahagiaan?

Kulihat sekeliling, banyak orang kaya yang tidak bahagia. Apalagi yang miskin. Aku realistis kok. Tapi ketika kondisi ekonomi semakin terpuruk begini, kulihat banyak pebisnis berjatuhan. Jatuhnya lebih parah dari yang memang terbiasa susah.

Tak berani kuhitung, berapa orang di sekitarku yang semula gagah mewah tahu-tahu lesu. Meski masih ke sana kemari dengan mobil bagus, yang aku ikut cemas, tinggal menunggu waktu untuk pindah tangan. Ada yang sedang dipertahankannya, minimal air mata yang menggantung di balik kacamata.

Perdebatan di Twitter dan aneka berita simpang siur tak membuatku percaya bualan soal ekonomi yang meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan data BPS menyebutkan angka kemiskinan terus turun dari tahun 2017 hingga ke 2019.

Malah di tahun 2020 ini, Trump mengeluarkan kita dari daftar negara berflower, pindah ke kelompok negara maju. Padahal ada kakak adik yang sampai makan sabun untuk menahan lapar. Maju ndasmu!

Indonesia negara maju itu mimpi besar kita. Mau pebisnis atau pedagang (dalam hal ini maksudnya makhluk biasa seperti aku dan para tukang bakso), semua ingin Indonesia lebih baik dari tahun ke tahun. Tapi masalahnya tidak sesederhana itu.

Aku yang pernah kehabisan beras tapi pernah juga foya-foya gak jelas, tahu betul kok. Kemiskinan seliweran di depan hidung dan mata, jadi pemandangan dan aroma sehari-hari. Kalau penuntasan berbagai masalah, semisal omnibus law, corona, termasuk kemiskinan, hanya dengan mengguyur buzzer, kita bukannya jadi negara maju. Tapi negara halu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun