Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hewan Peliharaan Itu Bukan Perabotan, Juga Bukan Mainan

1 Maret 2020   14:01 Diperbarui: 1 Maret 2020   14:02 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Barangkali ini adalah kelanjutan dari artikel sebelumnya, walaupun tidak kuniatkan demikian.

Ketika Mozza kami putuskan dikurung di kandang, aku merasa tak tahan setiap matanya menatap. Seolah minta tolong, minta dikasihani, dst. Siapa sih yang suka dikurung? Untunglah sekarang ia bebas. Mudah-mudahan aman terus bermain di luar. Aamiin.

Aku pernah menonton sebuah acara TV tentang hewan peliharaan, tapi lupa di mana dan apa nama acaranya. Padahal aku rutin loh nontonnya, yang jelas TV luar. Pembawa acaranya kurus, botak, bertato. Ada yang tahu?

Sekarang gak pernah nonton lagi, karena TV kabel kuputus. Sudah nyaman dengan Youtube.

Dalam salah satu episodenya, pembawa acara coba menyelesaikan kasus keributan antara anjing dan kucing di sebuah rumah. Akibat para anjing yang tak ramah, membuat kucing sering kabur, yang pada akhirnya menyebabkan tuan rumah saban sore dan malam keliling mencari peliharaannya.

Menurut skenario acara, tetangga dari pemilik anjing dan kucing yang mengadu pada tim, karena merasa terganggu dengan teriakan si tuan rumah tatkala memanggil-manggil nama kucingnya. Maka tim datang untuk membantu menyelesaikan.

Dari terapi menenangkan anjing, mendisiplinkan kucing, serta berbagai macam ilmu mengasuh hewan, bisa didapat dari tayangan ini. Dan yang paling membekas, adalah ketika si pembawa acara berkata, "Perlakukanlah mereka seperti keluargamu. Mereka bukan perabotan!"

Ucapan itu untuk menegaskan pada sang pemilik, sekaligus penonton, bahwa hewan juga punya perasaan. Mereka diadopsi bukan sebagai pajangan, sekadar untuk dilihat. Tapi juga dipahami rasa dan keinginannya, serta diperlakukan layaknya keluarga.

Rasanya aku boleh berbangga hati, karena sebelum menonton episode itu, kalimat yang nyaris sama telah kuucapkan pada suami ketika seseorang berniat mengadopsi salah satu kucing kami.

Namanya Mochi, kucing Persia berjenis kelamin betina, yang rencananya akan kami jodohkan dengan Mozza, anggora jantan kami.

Mochi, kucing persia betina | dokpri
Mochi, kucing persia betina | dokpri
Berbeda dengan Mozza, Mochi oleh tuan pertamanya diajarkan pup di kamar mandi (bukan di litter box), dan sepertinya itu tidak berhasil. Jika Mozza suka menangkap cicak tapi tidak memakannya, Mochi suka memakan apa pun. Pokoknya aku lumayan kerja keras berurusan dengan kucing satu ini.

Suatu hari datang seorang ibu, mengaku diarahkan seseorang ke rumah ini. Ia sedang bingung, karena putri bungsunya demam setelah kucing kesayangan mereka hilang.

Karena aku pun capek mengurusi Mochi, apalagi ada pembanding yang sudah pintar, Mozza, membuatku berpikir memberikan Mochi pada ibu tersebut. Ditambah rasa empati sebagai sesama emak-emak, anak sakit adalah masa paling sulit. Pasti sedih dan lelah satu padu.

Karena suami yang membawa Mochi ke rumah kami, jadi kuminta izin beliau untuk melepaskan kucing itu pada si ibu. Sebenarnya suamiku keberatan, tidak pernah bermaksud menjual Mochi sejak memutuskan mengadopsinya. Tapi karena yang mengurus di rumah adalah aku, beliau akhirnya minta diganti biaya selama Mochi kami asuh saja. Kalau dihitung-hitung, dari makan, pasir, vitamin, vaksin dll, sampai hari itu minimal habis 750 ribu rupiah. Selanjutnya akulah yang bernegosiasi dengan si ibu yang menginginkan Mochi.

Tadinya aku pengin bilang ke suami untuk memberi saja, tak usah bayar. Tapi kejadian berikutnya justru membuatku sebal pada si ibu.

Besoknya si ibu datang bersama anak yang kemarin katanya sakit. Ia sempat bertanya, berapa harga jika Mochi sekaligus Mozza dia bawa? Kujawab, berapa pun angkanya, Mozza tidak dijual.

Untuk Mochi saja, angka 500 ribu kusebutkan. Bukan 750, karena niat buruk melepaskan beban juga.

Tahu-tahu si ibu yang sebelumnya sesumbar mau membawa Mozza malah bilang, ia cuma punya 150 ribu. Itu pun dari neneknya si anak. Suaminya sedang gak kerja, dia juga sudah beberapa hari gak jualan.

Aduh, kasihan sih kasihan. Tapi aku gak mau juga kalau Mochi cuma jadi mainan di sana. Angka 750 ribu itu bukan mengada-ada. Memang kuakui biaya kucing lebih mahal dari skincare-ku. Asli! Tapi itu karena kami menganggap mereka seperti keluarga. Bukan mainan yang cuma dipeluk-peluk lalu hidup dan besar dengan sendirinya.

Jadi kusarankan si ibu untuk memelihara kucing kampung saja. Mudah, murah, tidak perlu perawatan khusus. Apa jawabnya?

"Anak aku dak mau. Kemarin ado kucing kampung ke rumah, dilemparnyo."

Rasanya pengin koprol arah belakang. Gila aja ngasih kucing ke orang begini. Syukur besoknya aku berangkat ke Pekanbaru dalam rangka bimtek literasi. Berikutnya suamiku yang berurusan dengan si ibu. Sampai aku pulang, Mochi masih di rumah. Entah apa yang terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun