Blar!
Tak salah aku memilih tempat ini. Tak salah pula kalau orang bilang hujan adalah rezeki.
Setiap hujan mendadak turun, akan banyak pejalan kaki dan pengendara sepeda motor yang mampir ke warungku. Awalnya mereka menepi dan berteduh di teras ruko yang sudah tutup. Tapi ketika hujan makin deras dan angin membuat upaya berteduh mereka sia-sia, akhirnya mereka dengan terpaksa pindah ke tenda warungku juga.
Antara dipaksa hujan atau aroma lele goreng yang menguar, atau keduanya. Pada akhirnya hujan seperti mengantar rezeki untukku. Orang-orang yang kadang tanpa kutanya, mengaku sudah makan dari rumah, juga memesan pecel lele, menu utama di warung ini.
Aku dan Maman kerap bercanda, kami adalah pencinta senja penikmat hujan. Sebagaimana kata pujangga dadakan di media sosial. Senja hari kami membuka warung, dan hujan adalah bonus rezeki dari Tuhan.
Maman kubawa dari kampung, keponakan istriku yang usianya lebih tua dari istriku itu. Kami mengadu nasib di kota, bermodal uang dari mertua dan doa anak istri tercinta.
Kadang aku curiga, Maman adalah "intel" yang disusupkan mertuaku untuk memata-matai aku di sini. Agar jangan macam-macam. Orangtua itu lupa, macam-macam juga butuh modal.
Blar! Petir menyambar lagi.
Betul kan. Seorang perempuan yang tadi bertahan di teras sempit ruko, akhirnya masuk ke warung. "Boleh numpang duduk, Mas?"
Aku menyilakan. "Mau pesan apa, Mbak?"
"Kalau cuma numpang duduk, boleh ndak?"