Ia diam menunduk. Pelan-pelan menyeka air mata, seolah dengan begitu aku tidak menyadarinya. Aku memilih tak bertanya lagi.
"Anak saya di rumah sakit, adik saya yang menjaganya belum makan." Ia berucap sambil menahan air mata. "Tadi bos tidak datang ke kantor, jadi gaji kami ditunda."
Aku langsung paham.
"Saya bungkuskan gratis. Gak apa, Mbak." Aku beranjak menyiapkan tiga bungkus menu terbaik.
"Tidak usah, Mas!" tolaknya tak yakin.
Aku meneruskan kegiatan membungkus nasi.
"Suami saya pergi, sudah setahun tak ada kabar." Ia bercerita tanpa kuminta.
Aku sendiri masih asyik dengan nasi, ikan, dan lalapan.
"Mungkin dia pergi dengan mantannya."
Aku mendengarkan, tapi tak menjawab. Hujan mulai reda, tersisa rintik halus yang masih padat.
"Sekarang saya harus kerja banting tulang untuk menghidupi anak dan adik. Kami yatim piatu."