Kenapa banyak orang menikah di bulan haji, sudah terpecahkan. Biar dagingnya sekalian, ya kurban ya prasmanan. Tapi kita belum bisa tidur nyenyak, sebab mengapa pada setiap surat undangan yang datang, selalu ada daftar turut mengundang, padahal mereka bukan panitia walimah. Dan entah ngamplop atau tidak saat datang.
Aku menikah di akhir November, resepsinya awal Desember. Sudah masuk musim hujan, yang kemudian menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga. Kalau hujan deras, alamat yang datang sedikit.
Tapi yang jadi catatan bagiku sejak gadis dulu adalah, di surat undangan nikahku kelak, jangan ada nama-nama turut mengundang. Itu!
Undangan wajib ada, karena dalam Islam memang begitu, kalau ada yang menikah harus dikabarkan. Biar tidak jadi fitnah. Syukurnya keluarga besar tidak mengurusi hal remeh temeh. Mereka fokus ke dapur, sebab bagian itu memang wilayahnya emak-emak dan tetangga.
Rias, tenda, undangan, dll, kuhandle sendiri. Enaknya, kendali ada di tangan. Jadi kita bisa pilih mbak-mbak perias yang siap merias ulang setelah waktu salat. Dan memastikan dandanan pengantin enggak ketahuan tarif nawar.
Pakaian adat mana pun bisa disesuaikan tetap syar'i, aku juga enggak perlu mewanti-wanti perias untuk tidak mengutak-atik alis. Itu sudah bagus banget dari sananya!
Tantangan berikutnya adalah soal hujan itu tadi. Waktu salah satu kakakku menikah, aku diminta menusukkan cabai ke sapu lidi, dan meletakkannya terbalik. Waktu itu aku belum paham bahwa itu dilarang agama. Yang kutahu, hanya yang masih perawan yang bisa melakukan itu. Dan yes! Tidak hujan. Berarti aku beneran masih polos.
Saat pernikahan dan resepsiku, kalau enggak salah lihat, benda itu tidak ada. Lah aku bungsu, siapa lagi yang masih ting-ting di rumah? Entah kalau tetangga ada yang diam-diam diminta. Sebab budaya ini lumayan sulit dihapuskan.
Alhamdulillah, selama seremoni nikah dan walimah (resepsi), hujan hanya rintik-rintik kecil. Semacam ucapan selamat dari langit. Barakallah, kalian yang nikah tanpa pacaran.... Halah geer!
Luar biasanya, dengan surat undangan tanpa daftar turut mengundang itu, yang hadir pada nikah dan resepsi kami terbilang banyak. Bisa dikatakan, semua yang diundang hadir. Malah ada yang tidak diundang juga datang. Beneran.
Aku kenal seseorang yang ketika dia datang, baru ingat lupa mengundangnya. Kupikir, syukurlah suamiku mengundang dia. Ketika jadi obrolan kami, ternyata suami pun tidak mengundang. Luar biasa!
Jadi, apa untungnya daftar turut mengundang itu?
Kalau menuruti prasangka (buruk), pengantin inginnya diketahui orang sebagai anggota dari keluarga besar terpandang atau berkedudukan di masyarakat. Apa begitu? Sebab bukan orang sembarangan yang masuk daftar ini. Bahkan kadang tak cukup nama, diberi kurung pula (gubernur antah berantah), (wakil presiden khayangan), ....
Sebagaimana mitos hujan yang bisa ditolak dengan sapu lidi, mitos lauk basi juga masih dipegang kuat masyarakat kita. Langsung tahu dong!
Kalau ada hidangan yang terasa basi di sebuah pesta pernikahan, kata mitos, artinya pengantin sudah tidak perjaka/perawan lagi. Pantesan orang Barat enggak menghidangkan pecel dan gulai kacang panjang campur petai, ya! Rawan basi. Diganti sampanye.
Aku tetap berpegang teguh bahwa kalau ada makanan basi itu yang bertanggung jawab adalah orang dapur, bukan pengantin. Tapi bagaimana dengan tamu undangan lain?
Bayangkan, kalau di sebuah pesta pernikahan, hadir tamu yang punya karakter lambe-lambean. Ketika dia mencicipi salah satu hidangan yang di mulutnya terasa basi, apa yang dia lakukan? Jelas dia cari tahu siapa yang menikah itu, bagaimana keluarganya, bagaimana proses pernikahan mereka. Apakah by accident?
Siapa yang jadi sumber informasi? Tentu tamu lain yang tidak terafiliasi dengan keluarga mempelai, dan orang di daftar turut mengundang. Nah loh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H