Jadi, apa untungnya daftar turut mengundang itu?
Kalau menuruti prasangka (buruk), pengantin inginnya diketahui orang sebagai anggota dari keluarga besar terpandang atau berkedudukan di masyarakat. Apa begitu? Sebab bukan orang sembarangan yang masuk daftar ini. Bahkan kadang tak cukup nama, diberi kurung pula (gubernur antah berantah), (wakil presiden khayangan), ....
Sebagaimana mitos hujan yang bisa ditolak dengan sapu lidi, mitos lauk basi juga masih dipegang kuat masyarakat kita. Langsung tahu dong!
Kalau ada hidangan yang terasa basi di sebuah pesta pernikahan, kata mitos, artinya pengantin sudah tidak perjaka/perawan lagi. Pantesan orang Barat enggak menghidangkan pecel dan gulai kacang panjang campur petai, ya! Rawan basi. Diganti sampanye.
Aku tetap berpegang teguh bahwa kalau ada makanan basi itu yang bertanggung jawab adalah orang dapur, bukan pengantin. Tapi bagaimana dengan tamu undangan lain?
Bayangkan, kalau di sebuah pesta pernikahan, hadir tamu yang punya karakter lambe-lambean. Ketika dia mencicipi salah satu hidangan yang di mulutnya terasa basi, apa yang dia lakukan? Jelas dia cari tahu siapa yang menikah itu, bagaimana keluarganya, bagaimana proses pernikahan mereka. Apakah by accident?
Siapa yang jadi sumber informasi? Tentu tamu lain yang tidak terafiliasi dengan keluarga mempelai, dan orang di daftar turut mengundang. Nah loh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H