Di ujung 2019, kita sempat heboh membahas dua kasus; Agnez Mo yang dianggap tidak nasionalis dan perceraian UAS.
Dua kasus ini membuktikan satu hal yang sebenarnya sudah terbukti sejak lama. Empati kita luar biasa besar. Bukan sekadar simpati.
Lihat bagaimana Tsunami Aceh 2004, berbagai lembaga yang menggalang dana berhasil mengumpulkan rupiah bermiliar-miliar dalam waktu singkat. Begitu pula bencana lain yang bagai temali sambung-menyambung menimpa negeri ini.
Terlepas dari ada juga oknum tak berhati yang tega menggelapkan dana bantuan bencana, tapi secara umum kita lihat kepedulian masyarakat Indonesia terhadap saudaranya memang patut diacungi jempol.
Itu yang positif. Beda cerita dengan dua kasus yang kusebut di awal. Agnez Mo dan UAS membuktikan hal lain selain soal empati, bahwa jika menjadi public figure, berhati-hatilah bersikap.
Sebab sikap gampang berempati juga punya sisi lain, yaitu baperan.
Lihat bagaimana hasilnya ucapan Agnez Mo soal dia tak punya darah Indonesia. Pengakuan jujur itu membuatnya harus dibanjiri nyinyiran manusia Indonesia dari level pejabat sampai warganet alay. Padahal apanya yang salah dengan menyebut diri tak punya darah Indonesia?
Yang bikin salah, Agnez Mo itu orang bukan orang sembarangan! Andai dia cuma rakyat jelata, kucing aja malas peduli.
Beda tipis dengan Agnez Mo, rasa empati kita membuat nasib Ustaz Abdul Somad tak kalah ngenes. Bahkan lebih parah.
Di Twitter, ketika seseorang membagikan video ceramah UAS, bukan main tanggapan warganet. Saking pedulinya, komentar mereka bahkan jauh dari topik yang ada pada video dan caption unggahan.
Bagai hujan sehari menghapus kemarau setahun, segala ucapan UAS mental akibat perceraian beliau. Kupikir, tidak ada manusia normal yang berniat cerai saat menikah. Dan tidak ada yang tak sedih dengan keputusan itu, meski ia berusaha menutupi kesedihan, dsb.