Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pelajaran Hari Ini, dari Tukang Bubur sampai Pajak Tanda Tangan

18 Desember 2019   15:51 Diperbarui: 18 Desember 2019   16:06 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang kusuka ketika anak-anak libur sekolah adalah, tidak perlu keluar rumah. Kata kakakku, "Untunglah kau ni cewek, kalo cowok susahlah hidup kau. Apo-apo malas!"

Kakakku gak tahu, orang pintar memang cenderung malas. Itu kata Google.

Tapi mau tak mau aku harus keluar juga hari ini, meski anak-anak libur karena guru mereka sibuk mengisi raport. Agenda utama adalah mengurus tanah orangtua yang sejak dulu tak habis ceritanya. Berkas yang kuurus ini bahkan dimulai sejak tahun 1996, seingatku di tahun itu aku masih kelas 6 SD.

Untuk kesekian puluh kali ke Kantor Pertanahan Kota Jambi. Kami menyebutnya BPN, singkatan yang gak nyambung blas dengan penamaan lembaga itu sekarang. Sedangkan orangtuaku, tahunya itu Kantor Agraria.

Sekira tahun 1970-an, Mamak (ibuku) membeli tanah 3,5 tumbuk (menurut KBBI "tombak", satuan ukuran panjang 12 kaki) dari seorang pegawai kantor tersebut. Setelah pembayaran lunas dengan bukti-bukti kwitansi bertanda tangan dan distempel, sertifikat tak kunjung keluar.

Tunggu punya tunggu, yang datang justru Satpol PP yang menyatakan bahwa tanah tersebut milik negara. Mamak ditipu seorang pegawai agraria yang sekarang sedang mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bukan di penjara, tapi di alam kubur sana.

Tahun 2013 seseorang memberitahu, bahwa tanah negara yang tengah kami kuasai (keluargaku dan masyarakat sekitar) dilepas pemerintah. Yang berhak membeli adalah warga yang menetap lama di lokasi tersebut, yang namanya masuk dalam daftar. Syukurlah nama Mamak tertera di sana.

Nanti setelah sertifikat ini tuntas, akan kuceritakan sejak awal hingga akhir bagaimana perjuangan mendapatkan sepetak tanah yang akhirnya hanya tertera 2,67 meter persegi ini (dari 3,5 tbk tadi).

Dari BPN, aku menuju Kantor Lurah untuk mendapatkan tanda tangan yang dibutuhkan. Tiba di lokasi, Pak Lurah sedang tidak di kantor, jadi berkas kutinggal dan beralih ke urusan yang lain dulu.

Kutuju Grapari Telkomsel untuk mengurus SIM Card yang bermasalah. Di sebelah grapari, ada halte yang dipakai berjualan oleh seorang kakek. Benar-benar seorang kakek! Renta dan lamban. Usia yang tidak pantas dipakai mencari nafkah.

Terbersit harapan, semoga kakek ini berjualan semata karena hobi, bukan karena kebutuhan. Tapi di sisi lain, ada perasaan yang cukup absurd untuk digambarkan. Aku mampir dengan niat mengambil gambarnya. Siapa tahu jika dibagikan ke medsos, ada yang tertarik membeli bubur dagangan si kakek.

dok. pribadi
dok. pribadi
Kupesan sebungkus saja, karena aku tidak suka bubur. Walaupun bubur kacang hijau mengingatkanku akan masa kecil. Setiap aku dibawa ke Posyandu, aku mendapat jatah bubur kacang hijau dengan gelas ukuran sedang bermotif bunga. Kakakku yang menghabiskan.

Harga bubur seporsinya 7.000 rupiah. Kakek yang sepertinya sama introvert denganku, tak banyak bicara. Menyendok bubur perlahan, memasukkan ke plastik, lalu mengikatnya tanpa bicara sepatah pun. Bahkan reaksinya datar saja saat aku memberi uang yang tak ingin kuterima kembaliannya. Toslah kita, Kek! Introvert mah ajaib!

Dari halte, kutuju kantor pos, hendak membayar tagihan air. Suami sudah mewanti-wanti agar segera dibayar. Sebab kabarnya denda keterlambatan dihitung per hari dengan angka yang lumayan. Membayar tagihan PDAM Tirta Mayang tidak seperti PLN atau BPJS yang bisa di mana saja, itulah kendalanya.

Aku sering membayar tagihan lewat rekening mobile atau aplikasi di HP. Tapi untuk PDAM, harus ke pos! Itu pun tidak bisa sembarang tanggal dan jam. Belum keluar tagihan, atau sedang gangguan. Bertahun-tahun begitu.

Tagihan PDAM kena 100 ribu pas. Sekilas kubaca di kwitansi, 97 ribu sekian. Dalam perjalanan menuju parkiran kupertimbangkan. Komplain demi uang dua ribu sekian, atau ikhlaskan saja? Kalau kubiarkan, dia akan mengulang perbuatannya. Memang cuma 2.000 perak, tapi itu bagian dari karakter. Tapi kalau aku komplain dan dia gak terima, bisa jadi keributan. Malu ah, duit segitu jadi bahan!

Untunglah aku batal komplain. Setelah sampai di rumah, ternyata tagihannya memang seratus ribu! Aku yang melihatnya hanya sekilas. Wah dosa nganggur, sudah su'uzhon pada orang lain.

Kutunggu telepon dari petugas kelurahan yang berjanji akan menghubungi jika berkas telah ditandatangani. Karena tak kunjung ada panggilan, kuputuskan pulang. Seorang kakak yang sekarang menunggui rumah Mamak kupesan, nanti tolong ambil berkas di kelurahan.

Nasibku sama dengan Mamak puluhan tahun silam. Lain yang ditunggu, lain yang datang. Alih-alih ditelepon pegawai kelurahan, malah kakakku lapor. Pak Lurahnya minta duit dulu, baru mau tanda tangan! Ambyaaar.

dok. pribadi
dok. pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun