Ahad pagi, menunggu anak-anak yang katanya mau jalan-jalan ke Gubernuran (tapi masih nempel di tempat tidur), kubuka laptop.
Rencananya kejar isi konten pagi ini, dan lanjut edit naskah novel dari penerbit. Tapi sebuah video kiriman suami membuatku berubah pikiran.
Hanya karena si anak mendapat peringkat 3, ibunya setengah mati berteriak-teriak memarahinya. Ya Allah, pilu rasanya melihat yang begitu. Padahal belum tentu si ibu waktu kecil dulu punya peringkat yang bagus.
Yang selalu kutanya adalah bagaimana sikap anak-anakku kepada guru dan teman-temannya. Hebat? Nggak juga sih. Aku hanya ingin anak-anak enjoy menjalani hidup, puaskan diri menjadi anak-anak, agar dewasa nanti tidak kekanak-kanakan.
Peringkat, sepemahamanku yang sedikit ini, hanya membuat anak merasa diukur dan dibanding-bandingkan. Belum lagi jika berhasil mendapat ranking 1, maka seumur sekolah dia harus mempertahankan ranking itu. Kalau kukenang masa-masa SD-ku, aku tahu betul kawan lamaku yang bernama Desi itu pasti antara sayang dan benci padaku.
Akulah satu-satunya di kelas yang berhasil mengambil tahta ranking satunya. Sekali saja, setelah itu aku naik turun di macam-macam peringkat. Alhamdulillah keluargaku terlalu keren untuk sekadar meributkan ranking. Yang penting pergi sekolah utuh, pulang pun utuh.
Lagipula, mengukur anak hanya dari nilai (ranking) hanya akan membuat mereka berorientasi pada hasil. Maka tak heran perilaku mencontek masih dipakai siswa hingga kini. Terserah jujur tak jujur, yang penting orangtua melihat nilainya bagus.
Apa gunanya nilai jika tak punya adab, tidak bisa bergaul, tak punya skill, ...?
Sepertinya, orangtua di video itu lebih butuh disekolahkan ketimbang anaknya. Meski tidak ada adegan pemukulan (atau tidak terekam), cukuplah teriakan-teriakannya sebagai bentuk kekerasan verbal yang dapat membuatnya diganjar hukuman yang pantas.
Jika si orangtua tak menginsafi kesalahannya, dia harus terima ketika di masa depan ganti si anak yang akan meneriakinya. Memakinya karena tak becus mengurus cucu, pikun seperti bayi, atau teriakan lain sebagai "balas budi" dari apa yang pernah ia beri.
Melihat siluet si anak yang sepertinya mengenakan jilbab, berarti ia seorang muslim. Maka lepaslah ia dari doa si anak selama ini. "Ya Allah, sayangilah kedua orangtuaku sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku kecil."
Doa yang masyhur kita bacakan, dan diajarkan kepada anak-anak kita. Sayangi mereka seperti mereka menyayangiku. Hebatnya Islam, ada kelogisan di dalam doa itu! Pengin disayang tapi tak mau menyayangi? Apa-apaan!
Teringat kisah Umar bin Khattab yang didatangi seorang warganya ketika beliau menjadi khalifah. Seorang bapak yang mengadukan kedurhakaan anaknya. Ketika dikonfrontir, ternyata sang ayah tidak berbuat baik kepada istrinya, tidak memberi nama yang baik kepada anaknya, dan tidak mengajari anaknya Al-Qur'an. Maka Umar berkata, "Kau lebih dulu durhaka kepada anakmu!"
Catatan untukku pribadi, yang sering mendurhakai anak karena belum mampu menjadi ibu yang baik untuk mereka. Ini akan jadi jejak digital, ingetin Ummi, Nak. Kalau sewaktu-waktu membentak kalian hanya karena soal nilai. Artinya Mak kalian memang bodoh tak ketulungan!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI