Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Begini Cara Mudah Melunasi Utang

20 November 2019   18:41 Diperbarui: 20 November 2019   18:59 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Daniel Thiele on Unsplash

Salah satu kawan kerap update status tentang utang di story WA-nya. Dari meme sindiran, hingga tausiah ustaz kondang seputar utang-piutang. Sepertinya ia dongkol pada orang yang berutang.

Kakak dan emak kandungku lebih ngeri lagi curhatannya soal orang berutang. Mereka yang utang, alih-alih bayar, malah memusuhi yang memberi utang. Gemblung! Maki Kakak dan Mamak.

Di zaman kuota lebih banyak daripada pulsa ini, SMS yang masuk sehari-hari biasanya hanya iklan operator dan perusahaan yang menawari pinjaman. Kalau sekarang mereka merengek-rengek menawarkan utang, besok ketika menagih mereka akan jadi hantu paling menyeramkan sekaligus kejam.

Berbeda dengan utang di kalangan teman-saudara. Yang kemarin merengek-rengek minta diberi pinjaman. Besoknya lebih galak, yang memberi utang justru merengek-rengek saat menagih. Klasik. Itulah sebabnya aku gak mau kasih utangan ke orang-orang. Yang mau diutangin juga nggak ada!

Tapi aku punya pengalaman bagus, yang mungkin bisa ditiru orang-orang yang sedang diimpit utang.

Dulu, aku pernah punya utang 600 ribuan pada seorang kawan yang kupanggil kakak. Aku nguli sebagai tata usaha, dia wali murid yang anaknya sekolah di tempatku. Tiap dia masuk kantor, aku inget utang. Kalau dia punya tunggakan sekolah anak, aku sungkan nagih. Padahal dia utang ke sekolah, dan sekolah bukan punya nenekku.

Sampai anaknya tamat, utang belum lunas. Anaknya TK, jadi jangan bayangkan aku utang 600 ribu sampai enam tahun! Aku sempat lupa, sampai kemudian ada cukup duit di rekening untuk membayar utang.

Waktu itu masih zaman BBM. Jadi kuhubungi si kakak lewat aplikasi chatting BBM, dan minta nomor rekeningnya untuk kutransfer utang yang belum tercicil sedikit pun itu. Menjelang dia menjawab, aku salat Duha dulu di ruang sebelah.

Kebiasaan para karyawan di sana adalah, buka dan pakai kaus kaki lebih lama dari wudu dan salat itu sendiri. Tahu kan alasannya? Buka dan pasangnya sambil ngobrol.

Pada sesi ngobrol, salah seorang kawan curhat. Ia punya utang di sana sini, belum lagi tagihan sekolah anak-anaknya. Meski dulu sempat mengurusi gaji karyawan, aku gak ingat berapa gajinya. Tapi aku tahu berapa utang koperasinya. Iyalah, aku yang tiap bulan merekap.

Menyimak curhatannya, aku merasa lebih beruntung. Utangku tak seheboh dia punya, tagihan anakku setiap bulan terkover dari gajiku. Dan sisanya tinggal koretan ....

Tapi tentu bukan itu tujuan dia curhat. Masa iya biar aku merasa lebih baik. Entah sekadar mencurahkan perasaan, atau mungkin secara tersirat minta bantuan. Kalau minta bantuan, jelas dia salah alamat.

Kemudian kami sama-sama salat. Setelah aku salam, ia masih salat di sebelahku. Entah kenapa, kali itu tidak ada ide lain selain mendoakannya. Biasanya kan permintaan bejibun. Zikir sedikit, doanya panjang. Tumben  empatiku mendalam, melihatnya seperti melihat kakakku sendiri yang tengah kesusahan. Jadilah aku khusyuk meminta, Ya Allah, lunasilah utang saudaraku ini.

Rasanya memang cuma itu doaku. Lalu sudah, kupakai kaus kaki tanpa ngobrol. Gak ada lawan soalnya.

Sampai di meja kerja, kuambil HP untuk cek bintang merah notifikasi BBM. Masyaallah! Jawaban dari kakak yang kuutangi adalah pesan yang dirindukan semua orang yang berutang. Sudah kakak anggap lunas!

Langsung deh teringat dengan hadis ini: "Sesungguhnya doa seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya, adalah doa yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang mendoakan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan doanya. Tatkala dia mendoakan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata, 'Aamiin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.'" (HR Muslim).

Antara yakin dan berharap, semoga kawan yang kudoakan juga Allah lunaskan utangnya hari itu atau setelahnya. Yang jelas, tiga tahun sesudah aku resign, dia juga resign. Mudah-mudahan karena keadaan ekonominya sudah membaik, jadi tak perlu kerja di tempat orang lain.

Prinsipnya, kalau saat berutang kita berniat bayar, insyaallah pasti terbayar. Ada hadisnya, itu semacam jaminan dari Allah. Kalau dari awal memang gak ada niat, mending gak usah bilang utang. Bilang aja minta. Sebab pada dasarnya orang yang memberi utangan, dengan atau tanpa janji hari bayar, kemampuan mereka memberi adalah hari itu. Lebih baik diberi sedikit tapi tidak jadi beban, daripada dapat banyak tapi jadi beban sampai akhirat.

Yang memberi utang juga tak perlu sungkan menagih, karena itu hak kita. Eh, hak kamu. Daripada ngedumel dan menggosip, dia yang utang, kamu yang dosa. Rugi dua kali!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun