Dia juga cerita bahwa dosennya mencela naskah yang masuk karena dianggap jelek. Aku agak berbunga.
Dengan sedikit perbaikan berdasarkan informasi dari keponakan, akhirnya naskah drama yang kubuat kuantarlah ke panitia lomba.Â
Sampai di sana, aku semringah dalam hati (entah bagaimana caranya). Aku orang kesembilan yang ikut lomba, sedangkan yang dijaring adalah 10 naskah. Artinya saingan sedikit!
Besoknya panitia lomba memasukkanku ke WAG, isinya hanya beberapa orang. Ketika kutanya keponakan, katanya itu adalah teman-teman kampusnya.Â
Tapi, seiring berjalannya waktu, beranjak jam bertambah pula anggota grup. Hingga di hari terakhir, isi grup membludak. Dan yang masuk kemudian adalah orang-orang yang namanya kukenal sebagai orang teater. Pupuslah harapan.
Tak ada hubungan dengan ramal meramal, tapi aku sudah tahu gak bakal menang, dan yakin siapa yang juara.Â
Semua dugaanku benar. Nama para juara tepat seperti prasangkaku, sedangkan naskahku gak masuk bahkan sekadar nominasi.
Yang bikin sebal. Setelah proses pembuatan naskah tuntas, baru keponakan cerita banyak tentang omelan dosennya yang merupakan salah satu juri lomba (kalau aku pribadi, setiap jadi juri gak pernah cerita-cerita, sampai lomba itu selesai dan mendapatkan pemenang).
Dari situ aku tahu kalau naskah drama tidak boleh berlatar banyak, batasi jumlah properti yang dibutuhkan untuk pementasan, dll.Â
Padahal, rasanya kemarin sudah merasa paham sekali setelah kelayapan di belantara internet, dengan pemandu yang pintar segalanya --Google. Ditambah pujian ngawur keponakan yang baru kemarin nyemplung ke dunia sastra.
Ah sudahlah. Menang kalah itu biasa. Yang penting tetap dapat pengalaman dan ilmu baru. Ada hikmah besar yang kudapat dari lomba ini; jangan beriman pada Google!Â