Mohon tunggu...
suray an
suray an Mohon Tunggu... Guru - A Daddy of Two

Currently residing in Jogja. Loves traveling, watching movies, listening to music. Carpe Diem: a motivation to enjoy even trivialities in life.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Semuanya Semu alias Hyperrealita

6 Juni 2020   00:42 Diperbarui: 6 Juni 2020   01:07 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya, karena itu bukan lagi realitas. Realitas empiris yang saya alami tetap tak tergantikan dengan video atau rekaman video tentang realitas itu. 

Lebih parahnya, saya sekarang justru khawatir kalau video yang sebenarnya created based on realities itu dimaknai sebagai sesuatu yang unreal oleh diri saya sendiri atau lebih gawatnya oleh siapa pun yang melihatnya.

Sempat terpikir, ngapain juga merekam kejadian tiap hari. Anggap saja semua itu kejadian harian yang pasti akan sirna dan hilang ditelan waktu. Tak perlulah memvideokan atau merekam segala. Lagipula si mbah si mbahmu dulu juga tak ada yang melakukannya. Mereka pastinya fine-fine saja. Hmmm. Hmmm. Saya termenung sendiri dengan pemikiran ini.

Yang pasti, entah saya mengunggah rekaman video harian saya ke IG atau tidak, IG akan tetap ada alias eksis di dunia saat ini.

Frankly speaking, saya dulunya adalah orang yang suka menguntit, mengintip, melihat, memandangi kehidupan teman-teman saya di mana pun lewat unggahan medsos mereka. Lagi pula, hitung-hitung itu sebagai cara untuk berkomunikasi atau mengetahui bagaimana kabar mereka. Dari teman SD hingga SMA, masih ada yang sering saya ikuti dan lihat bagaimana kehidupan mereka. Ada pula teman-teman kuliah yang hitungannya masih gres dan fresh untuk dilacak. 

Bahkan, saya pun melihat dan mengikuti sepak terjang kehidupan orang-orang lain yang kenal saja juga tidak. Sering kuhabiskan waktu beberapa menit err jam untuk melakukan ritual intip-mengintip "kesempurnaan" hidup orang lain yang terus terang itu saya lakukan gara-gara diri ini penasaran atau bisa juga bosan karena dikungkung di rumah terus. Hmm...ini alasan yang 50:50 ada benarnya.

Ok, selama dikarantina sejak awal Maret 2020 di tengah pagebluk Covid-19 ini, saya kog rasa-rasanya semakin ambyar terjun ke dunia semu ini. Maaf jika ada yang tak setuju atau marah atau tersengat bila saya sebut dunia medsos itu dunia semu. 

Karena walaupun saya menggunakannya, saya melihatnya seperti itu. Karena dunia yang nyata itu hanya ada di dunia nyata, sebuah dunia tempat kita misalnya bisa memegang sesuatu atau seseorang secara fisik dan merasakan kehangatan secara nyata, menghirup dan merasakannya langsung. 

Semua yang ada di IG itu adalah semacam "cerminan" atau refleksi dunia nyata, jadi bisa dibilang unreal alias semu. Dalam istilah kecenya, saya pernah membaca bahwa medsos itu semuanya hyperreality alias realitas semu. Dunia nyata yang tergantikan dengan hyper-realitas.

Dalam konteks itulah, kebiasaan saya melihat-lihat, menge-scroll feed-feed teman-teman atau siapa pun di IG itu sebenarnya adalah melihat hyperreality, bukan dunia nyata.

Pas jaman pra-Covid, sering banget saya melihat seabrek orang mengunggah tiket nonton pilem. Pilem yang sama lagi. (Lucunya, saya kog ya pernah juga meng-upload tiket pilem itu. Gotcha!). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun