Kesehatan adalah bagian integral dari kehidupan manusia. Sebab itu manusia berusaha untuk sehat. Keadaan sehat adalah dambaan setiap manusia, baik yang kaya maupun yang miskin. Bahkan bagi suatu bangsa, kesehatan kesehatan rakyatnya menjadi salah satu modal dasar yang mempunyai peranan penting dalam mencapai cita-cita bangsa tersebut. Itu pula sebabnya, peningkatan derajat kesehatan harus terus menerus diupayakan untuk memenuhi hidup sehat. Setiap orang punya hak yang sama memperoleh akses atas sumber daya bidang kesehatan.Tidak boleh adakejadian, dimana masyarakat tidak mampu mengakses layanan kesehatan seperti Puskesmas dan Rumah sakit karena alasan biaya. Apalagi isu kesehatan sudah menjadi isu yang dihembuskan lewat janji-janij politik di momentum pilkada. Di Sulawesi selatan kita mengenal program kesehatan gratis yang berawal dari janji politik Gubernur sulsel pada saat kampanye. Namun sayangnya harapan itu masih jauh dari kenyataan, karena beberapa fakta, masyarakat miskin menjadi korban dari ketidak adilan pelayanan kesehatan.
Kisah Revan
Program kesehatan gratis dicanangkan pemerintah Sulawesi selatan sejak tanggal 1 Juli 2008. Program ini diselenggarakan berdasarkan kebijakan Gubernur dan wakil Gubernur kurun waktu 2008-2013. Dan program ini tetap berlanjut hingga 2019 selama masa kepemimpinan Bapak Syahrul Yasin Limpo, karena program ini adalah janji Gubernur dan wakilnya pada saat kampanye, yang berhak mendapatkan layanan ini adalah yang terdaftar dan memiliki identitas. Bagi bayi yang baru lahir dari keluarga peserta program kesehatan gratis langsung menjadi peserta baru. Namun sayang, masih ada kejadianmenimpa keluarga miskin di sulsel yang mencerminkan ketidak adilan pelayanan kesehatan.
Masih hangat dalam ingatan bayi Zahrah (bayi hidrocepalus) yang ditolak oleh rumah sakit wahidin sudiro husodo Makassar, kini kisah tragis menimpa bayiyang bernama lengkap Revan Adiyaksa Andi Amir. Bayi Revanyang berumur1 tahun 3 bulan, meninggal pada hari Rabu sore tanggal 26 Juni 2013. Revan anak dari Pasangan Andi Amir dan Nirmawati tinggal di kamar kontrakan jalan Bonto Bila, kelurahan batua, kecamatan panakukang, kota Makassar. Pasangan Andi Amir dan Nirmawati adalah pemilik kartu Jamkesda (Kesehatan Gratis), namun sayang keluarga pemilik kartu jamkesda ini di tolak oleh beberapa Rumah sakit di Makassar, beberapa diantaranya adalah Rumah Sakit milik pemerintah.
Siapa yang harus bertanggungjawab dengan kejadian yang telah menimpa warga di republik ini seperti yang dialami Bayi Revan. Jawabannya adalah kembali ke aturan,dan instansi yang terkait harus bertanggungjawab. Pemerintah jangan hanya mengumbar janji-janji yang memberi harapan besar bagi masyarakat terkhusus masyarakat miskin namun fakta implementasinya tidak seperti itu. Jangan lagi ada kejadian yang sama dialami masyarakat miskin lainnya seperti yang dialami almarhum Revan, memiliki kartu Jamkesda namun kesulitan dengan biaya ketika hendak memanfaatkan fasilitas layanan kesehatan. Sanksi harus diberikan kepada unit pelayanan kesehatan yang terbukti tidak melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara benar. Kisah tragis Revan telah “menampar wajah”Kota Makassar, Sulawesi selatan. Sehingga sangat wajar ketika semua warga sulsel sangat menyayangkan kejadian ini. Dan saya cendrung sepakat dengan judul yang di muat tribun timur bahwa “kesehatan gratis omong kosong”.
Sanksi
Dalam undang-undang no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 2 dinyatakan bahwa Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.Dan di pasal 6 dinyatakan menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dalam pasal 32 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa rumah sakit dilarang menolak pasien dan atau meminta uang muka.
UU No. 36 Tahun 2009, Pasal 190menyatakan bahwa :
(1). Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam undang-undang ini jelas bahwa sanksi bagi rumah sakit yang menolak pasien masyarakat miskin sangat berat. Artinya apa,komitmen dan ketegasan pemerintah dalam menegakkan aturan harus segera dibuktikan. Sudah banyak kasus yang terjadi di republik ini yang mencerminkan pelayanan kesehatan yang tidak berkeadilan bagi orang miskin. Salah satunya adalah kasus yang menimpa bayi Revan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H