Selasa, 12 April yang lalu saya menemui pak Ahok untuk yang ketiga kalinya. Sebelumnya saya juga pernah datang menemui beliau di bulan November 2015 dan kedua Febuari 2016 di Pendopo Balai Kota DKI Jakarta, masih menyangkut pembatalan pemberkasan CPNS saya. Saya memutuskan untuk menemui beliau kembali, seiring dengan perkembangan proses di lapangan.
[caption caption="Balasan Surat dari BKD"][/caption]Jika dirunut dari kronologis yang saya ungkapkan secara singkat, maka kesimpulan dari proses yang saya lalui dari Agustus 2015 hingga perkembangan terakhir, ada kesalahan dalam laporan masyarakat atau kekeliruan Dinas Pendidikan dalam menarik berkas.
Dalam data yang saya dapat dari Sudin 2 Jakarta Utara disitu saya ada dalam no.urut 259 tidak dijelaskan alasan pembatalannya. Konon, surat pembatalan tersebut sudah di sahkan dan di tandatangani gubernur.
Namun yang menimbulkan kecurigaan bagi saya, jika memang sudah di tanda tangani oleh gubernur kenapa no. 275 dan 276 data bisa diinput? Saya juga hanya diberi lembaran yang memuat nama saya, dengan alasan rahasia dinas, mereka tidak mau memberikan surat secara utuh.
Selanjutnya, dalam data yang ada di Kasie SDM Dinas Pendidikan yang diperlihatkan oleh pak Bahtiar, nama saya ada dalam no.urut 153 disitu dijelaskan bahwa berkas saya ditarik oleh kepala sekolah. Saat kepala sekolah dan pejabat SMPN 84 menghadap pak Posma Marbun (Kabid SDM Dinas Pendidikan) untuk mengkonfirmasi atas permasalahan saya, nama saya justru tidak ada dalam daftar yang dibatalkan/ditarik berkasnya.
[caption caption="Pembatalan K2 lulus CPNS"]
Bukan seperti yang disebutkan oleh BKD dalam surat balasannya. Dari mana pihak Inspektorat DKI Jakarta memberikan data yang seperti di maksud dalam surat tersebut. Jika memang ada laporan masyarakat atas nama saya, kenapa tidak disidik? Bukankah mereka dibayar untuk melayani dan menangani pengaduan? Sebagai penguat, saya memperlihatkan berkas-berkas yang memperkuat pernyataan saya.
Menurut pak Ahok ini penipuan, kemungkinan nomer ujian saya sudah digunakan oleh oknum Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk meng-SK kan sanak keluarganya atau bisa jadi dijual dengan nominal tertentu. Jika memang saya dibatalkan, harusnya data atau salinan berkas antara korodinator lapangan, sudin, dinas pendidikan, hingga BKD DKI Jakarta bunyinya sama, kenapa kok ini alasannya berbeda-beda. “Ibu sudah ditipu tuh” tegasnya lagi.
Ia meminta stafnya untuk menelpon Kadis, untuk meminta kejelasan prihal laporan saya. Saya melihat daftar kontak degan nama Kadis Pendidikan DKI Jakarta dipanggil oleh staf pak Ahok waktu itu. Namun tidak ada jawaban. Karena sudah dua kali panggilan tidak diangkat, akhirnya orang yang dipercaya membatu penanganan layanan pengaduan di Pendopo ini mengirimkan WhatShap dengan bunyi kurang lebih begini.
“ Mohon informasikan nomor ujian 60001305**** atas nama siapa? Pesan terkirim dan diperlihatkan pada saya. Cukup lama saya menunggu, mulai WA itu dikirim sekitar jam delapan, hingga jam sebelas belum ada balasan. Sementara menunggu jawaban, ia menangani laporan yang lainnya.
Karena lama menunggu tak ada jawaban, saya juga sudah sejak pukul 7.00 WIB menunggu bapak dan baru bisa ketemu sekitar pukul 8.10 WIB, akhirnya saya minta diri. Ingin menemui pak Ahok lagi, namun ia sudah berangkat menenuhi panggilan BPK. Saya juga harus melaksanakan tugas di sekolah.
Saya diminta meninggalkan berkas-berkas yang bisa dipelajari dan No. kontak yang bisa dihubungi agar jika ada balasan atau tindak lanjut dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta bisa secepatnya menghubungi saya.
Seminggu menunggu, tak ada kabar. Urusan ini memang pelik, saya yang menjalani proses ini selama hampir tujuh bulan juga sudah merasa lelah. Kenapa Dinas Pendidikan tidak punya itikad baik untuk menyelesaikan permasalahan ini. Jika memang SK saya sudah dikeluarkan atas nama orang, bilang saja terus terang.
Minta maaf kepada saya, setelah menunggu sekian tahun untuk bisa ikut tes, melalui proses pemberkasan yang menghabiskan waktu dan uang, belajar untuk bisa menjawab soal-soal ujian, belum lagi setelah lulus harus menunggu lagi karena pergantian masa pemerintahan, pemberkasan lagi dari april 2014 hingga agustus 2015 dengan uang tetek bengek yang dipungut oleh korlap, pada akhirnya harus berakhir seperti ini.
Jujur saja pada saya, agar saya juga tidak berharap lebih dengan nasib yang saya perjuangkan. Jika pesan dari staf Gubernur saja tidak ada jawaban, apalagi yang bisa saya harap. Kecuali pasrah pada keadaan. Hidup memang keras, bagi mereka yang tidak punya jalur titipan pejabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H