Mohon tunggu...
Sugianti bisri
Sugianti bisri Mohon Tunggu... Teacher -

Teacher,blogger,fiksianer,kompasianer, simple woman, and happy mommy

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengagendakan Suara untuk Basuki Tjahaja Purnama

12 Maret 2016   07:15 Diperbarui: 12 Maret 2016   08:11 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fungsi guru dalam dunia pendidikan, terutama guru non-PNS ibarat garam. Jika ada yang berpendapat siapa yang suruh menjadi guru? Kenapa tidak mencari pekerjaan lain yang bisa mencukupi?  Paling juga guru-guru honor itu sanak keluarga kepala sekolah atau titipan orang dinas. Tuntut aja kesejahteraannya sama orang yang menerima mereka di sekolah, jangan sama pemerintah. Pemikiran yang picik. Kenapa pertanyaan yang sama tidak kau tanyakan pada garam yang di dapurmu?

Setiap manusia sudah mempunyai jalan hidupnya sendiri.  Jika ditanya apakah mereka ini memang bercita-cita menjadi guru sejak kecil?  Bisa iya. Bisa juga karena terpaksa setelah lelah mencari pekerjaan.  Bisa jadi karena sudah mempunyai garis keturunan guru, sehingga mereka sudah bisa membaca peluang untuk mendapatkan kesuksesan.

Ibarat garam,  jika porsinya sesuai dengan kebutuhan akan menambah lezat  masakan, jika berlebihan akan memyebabkan hipertensi.  Itulah gambaran guru sekolah non-PNS di sekolah negeri saat ini.  Terutama yang bertugas di DKI Jakarta. Jumlah mereka yang pantastis membuat pemerintah hipertensi dibuatnya.

Dengan fungsi yang sama, guru non-PNS menjadi pelengkap dalam hidangan yang lezat di Dinas Pendidikan. Satu guru bisa mengampu dua hingga empat  mata pelajaran. Tentu  ini bukan lagi pelengkap, tapi sudah menjadi bahan  utama. Misalnya ada satu guru di SMPN 84 yang mengajar bidang studi Agama, PLKJ, Seni Budaya, dan PKN. Kenapa demikian? Karena sekolah sudah tidak diperkenankan mengangkat guru honor. Guru PNS sudah banyak yang pensiun, sedangkan guru yang ada sudah mempunyai jumlah jam yang penuh pula. Sebagai kaum professional, ia harus mampu menguasai seberapa banyak jumlah mapel yang diampu, meskipun harus belajar dari nol.

Meskipun kehadiran mereka di sekolah negeri ibarat penyelamat, namun harga untuk profesional mereka semurah sebungkus garam di supermarket. Namun dari masa pemerintahan yang satu ke pemerintahan yang lain, tak ada yang peduli dengan nasib mereka. Bukan mereka tidak mau berusaha memperjuangkan nasib, berbagai mediasi yang dilakukan Serikat Guru Jakarta (SGJ) , Forum Guru Honor Indonesia (FGHI) atau organisasi lainnya  untuk mendapatkan payung hukum yang kuat agar mereka bisa sejahtera seperti guru non-PNS di swasta/ yayasan yang mendapat tambahan dari sertifikasi dimentahkan.

Entah belajar dari bapak Sutiyoso yang mengadakan program PTT di tahun 2003 dan mem-PNS-kan mereka di  tahun 2008 atau melihat keprihatinan guru yang mencerdaskan anak Indonesia dimarjinalkan, namun nominal yang diterima lebih besar dari pegawai kasar yang dipekerjakan Pemda DKI, sehingga lahirlah Pergub  DKI Jakarta No. 235/2015. Dengan adanya pergub tersebut, guru dan tenaga pendidikan non-PNS  mengikat kontrak kerja individu kepada kepala suku dinas pendidikan.Selain  nilai honorarium sesuai upah minimum provinsi (UMP) 3,1 juta. Nantinya, mereka  juga akan menjadi anggota BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.

Bentuk kepeduian inilah agaknya yang akan menempatkan tingkat ketepilihan Basuki Tjahaja Purnama diposisi pertama  guru dan tenaga kependidikan non-PNS  di pilkada nanti.  Apalagi Ahok yang dikenal sangat ” brutal” dalam mengambil kebijakan  untuk maju melalui jalur independen, akan memperoleh simpati dari  sekitar 9.200 orang guru  dan  5.965 tenaga kependidikan. Dengan tidak adanya tekanan dari partai poliik yang mengusungnya, Ahok akan lebih leluasa meneruskan kebijakan yang telah dilaksanakan pada priode sekarang.

Harapan terbesar dari kaum UMP, Ahok dapat melanjutkan kepemimpinannya di priode yang akan datang. Alasan yang subjektif, namun inilah fakta. Jika berganti kepemimpinan dikhawatirkan program yang baru seumur jagung ini tidak akan ditinjau ulang tau bisa jadi berganti dengan kebijakan baru. Seperti halnya proses penerimaan CPNS honorer K2 tahun 2013 yang masih menyisakan tangis hingga sekarang. Pemerintah enggan menyelesaikan pekerjaan rumah yang tercecer dengan alasan bukan tanggung jawab mereka, Bergantinya kepemimpinan, berganti kebijakan. Yang dikorbankan adalah guru yang bukan family  kepala sekolah atau titipan  orang dinas pendidikan. Karena kekuasaan dan keuangan tetap mempunyai peran  siapapun pemerintahannya.

[caption caption="Sumber : Ketemulagi.com"][/caption]

 Kontrak Kerja Individu, Harapan Baru Ahok untuk Guru

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun