Mohon tunggu...
Sugianti bisri
Sugianti bisri Mohon Tunggu... Teacher -

Teacher,blogger,fiksianer,kompasianer, simple woman, and happy mommy

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Metro Mini Terakhir

17 Februari 2016   11:33 Diperbarui: 17 Februari 2016   11:38 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain jumlahnya yang  berkurang, jam operasi metromini o7 (Semper-Pasar Senen) hanya sampai  pukul  22.00 WIB. Situasi terminal  sepi. Hanya beberapa angkutan umum yang masih setia menunggu penumpang. Akhirnya saya dan rekan kerja  saya  yang malam itu usai menghadiri suatu acara,  memutuskan untuk menunggu di sekitar stasiun senin. Tak lama menunggu, ada si orens datang dari arah terminal. Terakhir…terakhir… Teriak kondektur angkutan itu.

Saya langsung mengambil posisi duduk yang dekat pintu belakang, karena jarak tempuhnya tidak begitu jauh.  Selain kami berdua, ada sekitar empat penumpang yang ada di dalam kendaraan massa itu. Semuanya laki-laki. Tak lama naik dua gadis belia yang ingin mengamen. Penampilan keduanya begitu berbeda. Satu anak mengenakan baju yang tidak cocok untuk anak seusianya. Terkesan terlalu seksi dan mengundang birahi.  Rambutnya juga diwarnai pirang. Sedangkan anak yang satunya masih mengenakan bawahan seragam sekolah warna birunya dengan t-shirs pink. Penampilannya masih polos, sopan, terlihat kalau ia belum begitu berpengalaman.

Karena penumpang belum begitu ramai, kedua anak itu mengambil posisi duduk di bangku yang masih kosong. Terdengar keduanya berbisik-bisik membicarakan pendapatannya hari ini.  Tak lama mengeluarkan uang dari kantong yang ada disaku celana si rambut pirang.

Saya panggil kedua anak itu. Saya suruh ia duduk di dekat saya. Kedua anak itu mengikuti apa yang saya minta. Saya tawarkan nasi kotak dan snack yang saya tenteng pada mereka. Keduanya menerima dengan senang hati.

Dari keterangan si anak yang berkulit putih bersih ini,  diperoleh keterangan bahwa ia  belum lama ikut tetangganya  (menyebut teman disebelahnya) mengamen . Itupun selepas magrib hingga habisnya operasi metro mini. Pagi hari ia sekolah di salah satu SMP swasta di Jakarta Pusat. Pulang membantu ibunya yang berdagang di depan stasiun kereta. Dari mengamen ia bisa membawa   uang  untuk ibunya antara RP.50-70rb. Kali ini karena mendung dan sepi, ia baru  mendapatnya uang Rp.39rb.

Sementara temannya yang mulai beroperasi dari pagi, ia tidak mau menyebutkan berapa uang yang  didapat . Ia hanya menjawab sebagian hasil kerjanya ia berikan ke orang tua, sebagian lagi untuk jajan dan senang-senang.

Melihat semua bangku terisi penuh, kedua anak itu mengambil posisi untuk bernyanyi. Setelah berbasi-basi dengan kalimat pembuka yang begitu akrab ditelinga pengguna angkutan umum, ia membawakan lagu  wajib “ pengamen jalan”. Saya sebut lagu wajib pengamen jalanan, karena  hampir semua pengamen yang tidak bermodal membawakan lagu ini saat mereka beraksi. “ Kami anak jalanan….” Demikian syair pembuka lagu itu.

Setelah menyelesaikan dua buah lagu, si anak yang mengenakan rok biru mengedarkan kantong permen yang sudah mulai kumal ke semua pnumpang. Saya lihat, hampir semua penumpang mengeluarkan recehan.  Kedua anak itu turun ketika metromini ini menaikan penumpan di sekitar Galur. Saat mereka turun, terdengar laki-lagi yang sedang mengerjakan galian jalan, memanggil mereka, terdengar bahasanya begitu menggoda. Bahkan diantara mereka ada yang berani mencolek-colek si baju pink.

Hidup memang keras. Namun membiarkan anak-anak belia ini sendiri di luar mencari kehidupan, sepertinya  hal yang harus dipertimbangkan dengan matang.  Mengingat mereka masih dalam masa pertumbuhan. Apa tidak membahayakan  jika ada orang-orang yang tidak bertanggung jawab.  Meskipun orang tua tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga, namun dengan membiarkan/mengharuskan  anak gadis yang mulai berkembang berkeliaran dijalanan saat malam, akan membahayakan kehidupan mereka. Bisa jadi akan merusak masa depannya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun