Anak yang dilahirkan ke dunia  tidak bisa memilih dari rahim siapa ia mau dilahirkan? Dari keluarga yang seperti apa ia ingin tumbuh dan berkembang? Jika mereka bisa melalukan hal itu, setiap anak pasti ingin dilahirkan oleh kedua orang tua yang harmonis, yang merindukan kehadirannya di dunia, dan dari keluarga yang berkecukupan.  Ingin tumbuh dan berkembang sebagaimana anak-anak seumuran mereka, ingin merasakan pendidikan yang layak, ingin  mendapat limpahan kasih sayang dari kedua orang tuanya dan ingin mendapatkan perlindungan agar dapat menjalankan tugas-tugas perkembangannya dengan baik.
Pada kenyataannya, apa yang kita lihat tidak sesuai dengan keinginan anak-anak pada umumnya. Berbagai masalah yang menimpa keluarga kerap melibatkan anak sebagai objek penderita. Mereka terpaksa harus memikul beban kehidupan yang seharusnya belum layak untuk mereka pikul. Â Kerasnya hidup merenggut masa kanak-kanak mereka. Beban yang mereka pikul mengorbankan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
DKI Jakarta, ibu kota negara Indonesia, pusat pemerintahan,pusat perekonomian, pusat perindustrian, pusat pendidikan, dan sebutan-sebutan strategis lainnya, justru  menjadi daya tarik penduduk luar daerah untuk mengadu nasib di sini. Mereka berharap dapat mengais rezeki dari gedung-gedung pencakar langit yang memadati ibu kota, pabrik-pabrik yang membuat polusi, ratusan mobil mewah yang memadati jalanan selama 24 jam. Tekadnya untuk mengubah nasib tidak diikuti dengan kemampuan yang mampu menjawab kebutuhan lapangan pekerjaan di Jakarta. Akibatnya, mereka tergerus oleh orang-orang yang mempunyai nilai jual yang tinggi dan  kemampuan yang memadai. Mau kembali ke kampung halaman hasil yang mereka dapat dari usahanya di kampung tidak mencukupi, mau bertahan di ibu kota akhirnya mereka rela hidup sebagai kaum-kaum yang tersisihkan. Tinggal dikontrakan-kontrakan yang tidak memadai, mendirikan bangunan liar di tanah-tanah milih pemerintahan, bahkan tingkat digubuk-gubuk yang mereka buat di kolong jembatan. Keadaan ini tidak menjadi masalah bagi orang tua saja, anak-anak mereka akhirnya ikut menanggung kerasnya hidup untuk bertahan.
Kehidupan anak terlantar yang selalu kita temui di jalanan, memenuhi taman-taman kota saat menunggu lampu merah jalanan bukan hal yang baru di Jakarta. Keberadaan mereka menjadi salah satu permasalahan berat bagi pejabat di negeri ini. Keberadaan mereka ibarat jamur di musim hujan, kian hari kian bertambah jumlahnya. Apakah pemerintah menutup mata? Apakah pejabat setempat menutup mata atas derita mereka di jalanan?
Sebagai upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, salah satunya dengan di bukanya SMP Terbuka pada tahun 1979. Sekolah yang menjangkau bagi mereka yang tak terjangkau karena keterbatasan waktu, lokasi atau ekonomi ini pada awalnya hanya dikembangkan di 5 wilayah di Indonesia, yaitu lampung, Cirebon, Tegal, Jember dan Ternate. Keberadaannya semakin berkembang Seiring dengan dicanagkannya wajib belajar 9 tahun  oleh Presiden Soeharto pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 1994 dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan dasar pada anak agar lebih mampu berperan dalam kehidupan masyarakat. Jumlah siswanya pun bervariasi sesuai dengan tingkat pendapatan masing-masing penduduknya.
Sejak menjadi guru bina di salah satu SMP Terbuka di Jakarta, saya makin terenyuh. Banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran bagi kita sebagai orang yang dituakan oleh mereka. Jika orang tua mereka tidak mampu/tidak mau memberikan kehidupan yang layak untuk kehidupan mereka di masa mendatang, apakah orang-orang yang menyaksikannya tidak mempunyai solusi atas permasalahannya? Apa yang kita nikmati sekarang ini hasil perjuangan dari pendahulu kita. Bisa jadi mereka yang bernasib sangat menyedihkan itu adalah anak cucu orang yang rela ditembus peluru saat menghadapi musuh di medan perang. Karena perjuangan nenek moyangnya tidak tercatat dalam sejarah, hingga kehidupannya jadi terbengkalai. Apakah kita tidak merasa berdosa, menikmati kemerdekaan bangsa ini tanpa memperdulikan jasa orang-orang yang berjuang, menjadikan kita merdeka di negeri sendiri.
Pemerintah sudah memberikan fasilitas pendidikan yang layak bagi mereka, berbagai fasilitas pendidikan bagi mereka kian hari kian ditingkatkan. Sebagai orang yang kebetulan diberi amanah untuk membina mereka di pendidikan formal yang sudah disediakan pemerintah. Saya dan sejumlah guru yang berada di jajaran tenaga pengajar di sekolah ini hanya berusaha menjalankan amanah yang dipercayakan kepada kami. Baik sebagai guru bina maupun sebagai guru pamong.
Â
Mereka tumbuh dari latar belakang keluarga dengan sejumlah permasalahan. Tidak seperti anak SMP Reguler pada umumnya. Meskipun mereka mendapatkan hak pendidikan yang sama namun mereka harus mendapat perlakuan yang berbeda.
Mereka mau sekolah, belajar di TKB setiap hari sesuai jadwal yang disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak dan datang ke Sekolah Induk dengan rajin sudah merupakan sesuatu yang luar biasa. Semangat beajar mereka tidak sama dengan anak-anak seumuran mereka pada umumnya. Sebagian mereka datang ke sekolah dalam kondisi tenaga yang tersisa setelah membantu orang tua bekerja untuk mencari nafkah. Namun mereka menmpunyai tanggung jawab yang sama, menuntaskan seluruh kegiatan belajar sesuai dengan kurikulum sekolah pada umumnya.
Bagaimana guru menyikapi hal ini? Menyelesaikan tujuan pembelajaran sudah menjadi kewajiban. Agar mereka mampu menuntaskan pembelajaran dan mengikuti ujian nasional   dengan beban yang sama dengan sekolah lainnya walaupun waktu mereka belajar jauh lebih sedikit. Memang bukan perkara yang muda jika dihadapkan dengan anak-anak yang seperti ini. Guru  harus lebih banyak memberikan motivasi, agar mereka semangat menuntaskan pendidikannya. Emosinya harus tetap terjaga, anak yang berasal dari keluarga yang seperti ini, temperamennnya tinggi dan kadang susah terkontrol. Moralnya juga telah tergerus oleh kehidupan jalanan, kehidupan yang akrab dengan kekerasan dan penindasan.