BERAMAL JALAN KESEMPURNAAN ILMU
Dalam epistimologi Islam, ilmu berasal dari Allah dan peruntukannya untuk beribadah mendekat kepada Allah juga. Sehingga dalam al-Qur’an dikatakan bahwa orang yang paling takut kepada Allah adalah orang yang paling banyak ilmunya atau ulama. Meskipun dalam perkembangan akhir zaman ada pembiasan makna dari ulama yang mengkerdilkan hakekatnya sehingga ada istilah ulama syu’ atau jelek yang tidak mengamalkan ilmunya.
Sebenarnya tidak ada dikotomi antara ilmu dan amal dalam Islam. Artinya sudah menjadi kelaziman antara ilmu dan amal akan senantiasa bergandengan. Apalah artinya ilmu tanpa diamalkan, sebagaimana dikatakan”al-imu bilaa amalin ka syajaratin bilaa tsamarin” artinya ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah. Demikian sebaliknya amal tanpa ilmu akan tertolak dengan sendirinya.
Dalam pengaruh dunia barat dengan kapitalismenya ada pemisahan yang tajam antara ilmu dan amal. Ini tentu pengaruh dari ideologi materialismenya yang meyakini bahwa ilmu adalah ilmu yang diusahakan oleh akal manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia itu sendiri. Sehingga tidak ada tuntutan untuk mengamalkan sebuah ilmu. Ada kemungkinan pemahaman ini lahir karena perkembangan ilmu di Barat dirangsang oleh pemberontakan terhadap agama Nasrani ortodok dikatator yang menyebabkan mereka sangat membeci agama.
Di lain pihak, ada sebagian masyarakat muslim yang latah dalam beramal. Mereka sangat semangat dan rajin dalam beribadah tapi tidak didasari oleh ilmu yang memadai. Sehingga secara tidak sadar terjebak dalam bid’ah dan kesyirikan yang berlawanan dengan nilai-nilai ibadah itu sendiri. Mereka biasanya karena taklid, ikut-ikutan dan kurang ilmu.
Inilah yang menjadi dua fitnah akhir zaman dalam bidang keilmuan. Pertama orang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya, sehingga ini menumpulkan hakekat ilmu dan merusak dari alam kekuatan ulama yang semestinya menjadi tauladan. Kedua orang rajin beramal tapi tidak didasari oleh ilmu yang memadai sehingga ini juga menjadi fitnah karena ibadah yang dilakukan salah-salah atau tidak sesuai dengan tuntunan yang semestinya.
Oleh sebab itu, menyambung tulisan sebelumnya bahwa untuk bisa melakukan keberpihakan kepada Allah maka harus menyempurnakan ilmu. Kesempurnaan ilmu adalah dengan amal. Artinya tidak dikatakan ilmu ketika ilmu tersebut tidak mengantarkan pemilik ilmu tersebut melaksanakan ilmunya. Dia hanya menjadi konsumsi otak yang tidak memberikan dampak kebaikan bagi dirinya dan masyarakat.
Melaksanakan ilmu memang memerlukan mujahadah dan tekad baja. Perlu pengulangan berkali-kali untuk mendapatkan kenikmatan ilmu dengan mengamalkannya. Ketika ada mujahadah tinggi maka Allah akan memberikan hidayah kepadanya sebagaimana janji Allah bahwa barang siapa yang bersungguh-sungguh di jalan Allah maka Alla akan menunjukkan jalan-Nya. Wallahu a’lam bish shawwab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H