Ketika seseorang memutuskan berinvestasi, apapun namanya, salah satu alasan paling utama tentunya ingin menumbuhkan nilai modal yang sudah diinvestasikan. Istilah kerennya sekarang dapat "cuan".
Berapa banyak? Tentu jawabannya bisa beragam. Ada orang yang cukup ambisius dan agresif sehingga menargetkan bisa mendapat keuntungan puluhan hingga ratusan persen per tahun.
Ada pula yang realistis bahkan cenderung konservatif dengan mematok target pertumbuhan yang sederhana; cukup di atas nilai inflasi.
Harapan dan target keuntungan yang ingin dicapai itu akhirnya membuat pilihan instrumen investasi setiap orang bisa berbeda-beda.
Mereka yang konservatif mungkin akan cenderung memilih berinvestasi obligasi atau reksadana sebagai kendaraan investasinya. Pilihan investasi yang dianggap nyaris tanpa risiko meskipun potensi keuntungan yang ditawarkan juga cukup rendah.
Bagaimana dengan menyimpan/menabung uang di bank atau deposito yang sudah pasti terjamin keamanannya? Faktanya bahwa imbal hasil yang ditawarkan sangat kecil bahkan di bawah angka inflasi.
Belakangan memang ada beberapa bank daerah dan bank digital yang menawarkan imbal hasil bunga deposito yang lebih menarik. Namun sekali lagi, pada umumnya imbal hasil yang diberikan sangat kecil.
Sementara itu, para investor yang agresif pasti akan lebih fokus dan memilih berinvestasi pada aset-aset berisiko tinggi seperti misalnya reksadana saham, saham atau crypto.
Sampai hari ini memang masih menjadi perdebatan, apakah crypto layak disebut sebagai instrumen investasi atau tidak. Baiklah kali ini kita hanya akan fokus pada instrumen investasi saham.
Saat berinvestasi saham pun sebenarnya ada beberapa tipikal investor. Ada yang senang dan memilih membeli saham perusahaan besar yang bisnisnya sudah berjalan berpuluh tahun dan sudah teruji oleh berbagai kondisi termasuk krisis.