Tahun 2023 ini terasa istimewa. Momen sakral bagi tiga penganut agama berbeda di negara kita yakni Hindu, Islam, dan Kristen terjadi pada rentang waktu yang berdekatan bahkan nyaris bersamaan.
Umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi pada 22 Maret. Sehari berikutnya, umat Muslim memasuki bulan suci Ramadan, melaksanakan ibadah Puasa sampai sebulan penuh lalu merayakan Hari Raya Idulfitri.
Umat Kristen pada awal April tepatnya tanggal 7 April akan mengenang hari wafatnya Yesus Kristus (Jumat Agung), dilanjutkan perayaan Hari Kebangkitan atau hari Raya Paskah tiga hari berikutnya (hari Minggu).Â
Bagaimana kita memaknai fakta ini? Apakah biasa-biasa saja karena menganggap itu peristiwa "rutin" yang kebetulan jatuh di momen yang nyaris bersamaan?
Menurut saya, betapa pun perayaan hari keagamaan adalah hal "rutin" yang dilaksanakan setiap tahun tak semestinya membuat pemaknaan kita terhadap momen tersebut menjadi biasa-biasa saja. Demikian halnya betapa pun momen hari keagamaan berbeda yang jatuh nyaris bersamaan adalah hal kebetulan, semestinya tak berlebihan pula bila kita mencoba memaknainya sebagai sesuatu hal yang istimewa. Ya, kebetulan yang bernilai istimewa. Â Â Â Â Â Â Â
Sebagai seorang pemeluk agama Kristen, jelas bahwa pemahaman dan pemaknaan saya terhadap momen hari Nyepi dan Ramadan sangat terbatas. Namun dari berbagai literatur yang ada, ditambah lagi interaksi dan pengamatan pribadi terhadap saudara-saudara pemeluk agama Hindu dan Islam, sekurang-kurangnya saya punya sedikit gambaran.
Satu hal paling substansi berkaitan dengan perayaan hari besar keagamaan (termasuk Nyepi dan Ramadan) adalah mengingatkan manusia untuk semakin bergantung dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Perayaan hari besar keagamaan adalah deklarasi manusia sebagai insan yang sangat terbatas dan meyakini ada kekuatan lebih besar di luar dirinya yang layak untuk disembah dengan segenap hati.
Nyepi adalah momen hening untuk bersungguh-sungguh datang ke Sang Pencipta, beralih dan melupakan sejenak kebisingan dunia.
Ramadan sebagai bulan suci maka umat Muslim akan berpuasa secara jasmani menahan lapar dan haus sekaligus berpuasa mengekang dan mengendalikan segenap keinginan dan hawa nafsu. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Hari-hari ini, pemeluk agama Kristen juga sudah memasuki masa-masa mengenang penderitaan yang dialami oleh Yesus Kristus sebelum puncak perayaan Jumat Agung.
Sekali lagi saya jelas melihat adanya "benang merah" pemaknaan hari besar keagamaan yang esensinya ingin mendekatkan manusia pada Sang Pencipta yang dipercaya dan disembahnya.Â
Akan selalu menjadi pertanyaan, seberapa besar dampak momen peringatan hari besar keagamaan terhadap kualitas hidup kita? Apakah setiap tahun pengenalan dan pemaknaan kita terhadap Sang Pencipta terus bertambah dan semakin baik atau biasa-biasa saja?
Meskipun masing-masing agama punya ciri khas ajaran dan ritual yang berbeda, tentunya kita takkan pernah menyangkal bahwa semua agama akan selalu mengajarkan nilai-nilai positif misalnya kebaikan, kejujuran, kesabaran, kedamaian, kebersamaan, persaudaraan, kesetiaan, toleransi, suka menolong, keluhuran, dan hal-hal baik lainnya. Â
Dengan kata lain semakin bersungguh-sungguh seseorang menjalankan ajaran agamanya, maka semakin bermanfaat pula hidupnya di dunia ini. Semakin banyak umat beragama berlomba-lomba mengerjakan kebaikan, semakin damai dan tenteram pula dunia kita ini. Â
Ini menjadi momen yang baik untuk sama-sama bermenung. Bagaimana kondisi lingkungan kita, negara kita saat ini? Apakah sudah semakin damai dan nyaman? Sembari terus mempertanyakan ke diri masing-masing, apakah kita sudah memaknai dan menjalankan ajaran agama dengan sungguh-sungguh?
***
Jambi, 22 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H