Ikatan Dokter Indonesia (IDI) baru saja merilis data yang semestinya membuat hati kita teriris-iris. Sudah ada seratus orang dokter yang meninggal dunia saat bertugas di masa pandemi ini. Mereka rela mengabdikan dirinya berjuang menjalankan tugas merawat para pasien yang terinfeksi virus Covid-19.
Ketika kita dihimbau untuk mematuhi protokol kesehatan, menjaga jarak agar terhindar dari bahaya terjangkit virus, mereka justru harus berada paling dekat dengan para pasien. Artinya, risiko untuk tertular menjadi sangat besar. Belum lagi, kondisi mental, kesehatan dan fisik mereka yang terkuras habis-habisan untuk merawat pasien yang terus bertambah dari waktu ke waktu. Â Â
Sampai hari ini, kita memang tak pernah tahu kapan masa-masa sulit ini akan berakhir. Calon vaksin masih dalam tahap ujicoba dan sepertinya belum bisa digunakan tahun ini. Sementara itu, penambahan jumlah yang terjangkit virus secara harian justru terus meningkat, tidak ada tanda-tanda akan melandai.
Beberapa bulan lalu, angka seribu orang positif dalam sehari dianggap sebagai rekor. Tak lama, rekor tersebut dipatahkan dengan angka dua ribu per hari. Beberapa hari belakangan, rekor barunya adalah tiga ribuan per hari.
Ahli epidemologi, Dokter Pandu Riono baru-baru ini memprediksi kasus penyebaran Covid-19 baru akan mencapai puncaknya pada awal semester pertama hingga pertengahan tahun 2021. Sedangkan tingkat penularannya, kemungkinan baru akan melandai pada akhir 2021 hingga awal 2020. Bila prediksi tersebut benar, artinya rekor jumlah angka harian yang terinfeksi virus saat ini sepertinya akan segera dan terus terpecahkan lagi. Â Â
Ada lagi informasi yang tak kalah mengkhawatirkan. Penyebaran Covid-19 di Indonesia juga disinyalir akan semakin parah setelah para peneliti menyebut varian mutasi Covid-19 D614G yang disebut sepuluh kali lebih menular ketimbang Covid-19 biasa, ternyata telah ditemukan di beberapa kota di Indonesia, mulai dari Surabaya hingga Jakarta.
Bioskop dibuka (?)
Pada kondisi yang serba tak menentu itu, muncul wacana bioskop akan dibuka. Yang menjengkelkan (bila harus disebut demikian) saat disebutkan alasan bahwa itu bisa meningkatkan imun. Membuka bioskop seakan-akan bisa menjadi solusi dalam menghadapi pandemi saat ini.
Sebenarnya kita bisa paham logika sederhananya: imunitas manusia akan cenderung meningkat ketika dalam kondisi relaks, happy, tidak stres dan sebagainya. Bagi sebagian orang, nonton di bioskop menjadi salah satu hiburan/caranya agar tidak stres. Namun tentu saja, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan imun, tanpa harus mendatangi tempat-tempat yang berpotensi membuat kita tertular. Â Â
Maksud saya, seharusnya jujur saja bahwa tujuan utama membuka bioskop adalah berkaitan dengan kepentingan ekonomi/bisnis. Publik juga paham bahwa pihak pengelola pasti sudah mengalami kerugian yang signifikan akibat tidak bisa beroperasi selama berbulan-bulan.
Bisnis yang bergerak di bidang hiburan termasuk bioskop bisa dikatakan salah satu sektor yang paling terdampak akibat penyebaran virus Covid-19. Jangankan mencari hiburan pergi ke bioskop, warga lebih memilih tinggal diam di rumah sesuai anjuran pemerintah. Pengelola bioskop juga akhirnya terpaksa harus menutup sementara aktivitas usahanya. Â Â Â Â Â Â
Katakanlah benar bahwa nonton di bioskop bisa meningkatkan imun, tapi jangan lupa bahwa disana juga mengandung potensi besar kita bisa terpapar virus. Dalih sudah disiapkannya aturan protokol kesehatan di gedung bioskop, jelas bukan jaminan bahwa virus tidak akan menyebar.
Kita semakin kuatir bila mencermati perilaku kebanyakan orang yang saat ini seakan sudah bosan mengikuti anjuran mematuhi protokol kesehatan dan cenderung mengabaikannya. Contoh terkecilnya adalah penggunaan masker.
Selanjutnya, katakanlah wacana membuka bioskop bertujuan agar kegiatan ekonomi bisa berjalan lagi, ini pun patut dikritisi lebih dalam lagi. Pemerintah, Bank Indonesia dan para analis ekonomi kompak mengatakan, Indonesia sudah hampir pasti akan mengalami resesi. Menkopolhukkam, Mahfud MD bahkan sampai berani menyebut angka 99,99 persen kemungkinannya.
Tak lupa, pemerintah juga terus menebar optimisme dan sentimen positif di publik. Bahwa resesi bukanlah akhir dari segalanya. Banyak negara bahkan negara maju sekalipun yang sudah terlebih dulu mengalaminya. Yang pasti, kita pasti bisa pulih. Sebagaimana pengalaman-pengalaman saat resesi sebelumnya misalnya tahun 1998 dan 2008.
Pertanyaannya, bila resesi adalah keniscayaan yang harus dihadapi dan kita masih punya segudang optimisme. Mengapa harus memaksakan diri membuka bioskop yang berpotensi membuat jumlah orang tertular virus kian banyak dan berarti masa-masa sulit ini akan bertambah panjang? Mengapa tidak mau bersabar sedikit lagi, minimal menunggu vaksin ditemukan? Â
Saya kuatir, wacana membuka bioskop sepertinya memang sudah tidak bisa dibendung lagi. Bila sudah demikian, sepertinya sekarang sudah tinggal bergantung pada kearifan pribadi masing-masing.
Bila anda adalah golongan penakut (seperti saya) yang merasa tidak terlalu yakin bisa menjaga diri sendiri dari potensi tertular virus, maka menahan diri untuk tidak ke bioskop adalah jalan terbaik. Percayalah, cepat atau lambat masa-masa sulit ini akan berakhir. Tunggu saja. Ingin tetap menonton film-film berkualitas, manfaatkan saja kemudahan teknologi saat ini. Sudah banyak platform yang menyediakannya. Â Â
Namun bila anda merasa punya imunitas tubuh yang baik dan sangat optimis bisa menjaga diri agar terhindar dari virus dan memang sudah benar-benar ingin nonton film di bioskop, silahkan saja. Tetaplah waspada dan patuhilah protokol kesehatan. Itu saja. Â
***
Jambi, 2 September 2020 Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H