Akun twitter Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa (@KhofifahIP) mengunggah foto penghargaan dari Kementerian Agama dengan predikat "Gubernur yang menangani Covid-19 dengan pendekatan spiritualisme selain protokol kesehatan".
Selain mengunggah foto, akun tersebut juga menuliskan caption "Alhamdulillah, Jawa Timur memperoleh penghargaan dari Kementerian Agama atas upayanya menangani Covid-19 dengan menggabungkan pendekatan sains dan spiritual di Jakarta, Jumat (21/8)".
Kemudian dilanjutkan lagi dengan tulisan "Penghargaan ini bukan tujuan, karena memang sejatinya antara sains dan agama bisa hidup berdampingan dan saling melengkapi. Tanpa pertolongan Allah, wabah ini tidak akan selesai. Pun, tanpa upaya sains ikhtiar kita dalam melawan Covid-19 menjadi tidak lengkap. Maturnuwun".
Cukup menarik, unggahan tersebut langsung ramai dikomentari oleh pengguna twitter yang lain. Ucapan selamat atau pujian? Ternyata bukan. Mayoritas justru melontarkan kalimat dengan nada-nada sinis. Beberapa komentar bahkan disertai kutipan berita atau meme.
Intinya, mereka sedang mempertanyakan, "Bagaimana mungkin Khofifah bisa mendapatkan penghargaan, sementara Jawa Timur termasuk provinsi dengan jumlah pasien positif Covid-19 terbanyak se-Indonesia?"
Ada juga yang menuding Khofifah sedang pamer sesuatu hal yang sebenarnya sangat tidak layak untuk dibanggakan apalagi dipamerkan.
Sebenarnya apa motivasi Khofifah mengunggah foto penghargaan tersebut? Benarkah tujuannya hanya untuk pamer? Tentu saja hanya Khofifah sendiri yang tahu pasti jawabannya. Publik hanya bisa menduga sekaligus menyampaikan opininya.
Tapi saya kira, andai Khofifah tahu akan mendapat banyak nyinyiran seperti sekarang ini, barangkali ia pun akan berpikir sampai berkali-kali untuk menggunggahnya atau bahkan bisa saja akhirnya tiba pada keputusan untuk tidak melakukannya. Â
Baiklah kita mencoba tetap berprasangka baik bahwa tidak ada niatan pamer sama sekali dari tindakan yang dilakukan Khofifah. Namun ternyata tetap saja itu tidak bisa menghilangkan pertanyaan kita tentang sense of crisis-nya sebagai pemimpin di tengah kondisi yang tidak menentu seperti saat ini.
Khofifah jelas tidak salah ketika menerima penghargaan tersebut. Toh, itu menjadi wewenang/urusannya pihak pemberi yaitu Kementerian Agama. Khofifah tidak meminta, hanya menerima.
Lalu, apa tujuan Kementerian Agama memberikan penghargaan di situasi seperti saat ini? Bukankah akan lebih baik penghargaan itu diberikan nanti saat kondisi sudah benar-benar stabil? Â
Andai disebutkan bahwa tujuan pemberian penghargaan untuk memberikan motivasi dan suntikan semangat pada publik dalam menghadapi situasi sulit, saya justru tidak melihat itu akan berhasil.
Kemajuan teknologi informasi saat ini membuat segala sesuatunya serba terbuka. Publik sudah mampu menilai, pejabat publik mana yang benar-benar bekerja dan mana yang hanya sibuk berwacana. Bahkan, tanpa harus ada embel-embel penghargaan dari lembaga manapun.Â
Publik bahkan terlanjur sinis terhadap berbagai penghargaan yang diberikan lembaga pada lembaga lain maupun pejabat publik. Publik menilai, beberapa klaim maupun penghargaan bahkan sudah tidak berdasarkan kajian yang objektif lagi. Muncul dugaan, penghargaan tersebut memiliki motif tertentu.
Kita lihat contoh paling sederhana. Banyak lembaga atau daerah seperti selalu berlomba untuk mendapatkan predikat "penghargaan" Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Seakan-akan itu sudah cukup menjadi bukti bahwa pengelolaan keuangan negara yang mereka lakukan sudah terbukti bersih dan tidak ada indikasi penyelewengan. Padahal fakta menunjukkan, banyak kepala daerah yang terkena OTT KPK padahal daerah yang dipimpinnya pernah atau bahkan baru saja mendapat predikat WTP dari BPK. Ironis sekali bukan?
Andai para pemimpin kita bisa menangkap kegelisahan dan perasaan publik, sebenarnya mereka tak perlu lagi pusing dengan berbagai label penghargaan. Apalagi kalau sampai ada yang terkesan "memburunya".
Tinggal bekerja saja secara maksimal dan sungguh-sungguh, publik sendiri yang akan merasakannya dan langsung menyampaikan pujian serta rasa terima kasih. Ini tentu "penghargaan" yang sangat valid dan tidak bisa dicurigai memiliki motif tertentu.
Unggahan Khofifah patut menjadi sorotan karena seperti sedang menunjukkan ketidakmampuan memilih momentum yang tepat. Bayangkan perasaan para keluarga korban Covid-19? Atau para tenaga medis maupun warga yang masih harus berjibaku dengan rasa takut dan was-was karena nyaris tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa krisis ini akan segera berakhir.
Data jumlah warga yang dinyatakan positif Corona per harinya secara nasional saat ini bahkan sudah seperti sudah "stabil" di rentang angka 1500-2300 orang per hari. Sekali lagi, Jawa Timur masuk dalam provinsi penyumbang terbesarnya.
Maka, saya kira, unggahan rasa bangga atas sebuah penghargaan di tengah-tengah kondisi krisis sebenarnya menunjukkan hilangnya sense of crisis. Alangkah lebih baik bila Khofifah terus bekerja secara maksimal untuk memastikan pencegahan dan penanganan Covid-19 khususnya di Jawa Timur berjalan dengan maksimal.
Virus Corona sudah menjelma menjadi virus berbahaya dan sangat menakutkan. Ia tidak kenal ampun dan bisa menyerang siapa saja tanpa memandang usia, tingkat pendidikan, status sosial dan berbagai "kasta" lainnya. Â Â Â Â Â Â
Sehari setelah mengunggah foto penghargaan, Khofifah juga mengunggah satu foto lain. Kali ini adalah ungkapan turut berbela sungkawa atas meninggalnya Plt. Bupati Sidoarjo, H.Nur Rohmat Syaifuddin. Ternyata, almarhum meninggal karena terpapar Covid-19.
Pekerjaan besar dalam rangka penanganan Covid-19 ini ternyata memang masih jauh dari selesai. Untuk Bu Khofifah, saya tidak akan menyampaikan selamat atas penghargaan dari Kementerian Agama. Saya justru ingin mengucapkan, selamat bekerja (lebih) keras.
***
Jambi, 23 Agustus 2020 Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H