Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 tahun 2019 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24 tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Peraturan ini sebenarnya sudah ditandatangani Presiden sejak tanggal 23 Mei 2019 lalu namun sepertinya baru bisa diakses publik dalam beberapa hari terakhir ini. Ditambah lagi, pemberitaan media massa dan perhatian publik saat ini pun sepertinya terlalu fokus dan lebih tertarik memberitakan kasus artis terjerat narkoba, artis pindah agama serta berbagai isu dan manuver para tokoh politik terkini.
Tentu tidak demikian bagi para penghayat kepercayaan yang menurut data Kemendikbud, persebaran organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Tingkat Pusat pada tiap kabupaten/kota seluruh Indonesia per Juli 2018 telah mencapai 188 organisasi.
Terbitnya PP ini jelas merupakan "angin segar" sekaligus mimpi mereka yang terwujud, yaitu negara kian mengakui bahkan wajib melindungi eksistensi mereka sebagai salah satu bagian penting bangsa ini.
Dua tahun sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah memutuskan bahwa penghayat kepercayaan harus masuk dalam catatan administrasi kependudukan. Sebelumnya, kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) hanya mencantumkan enam agama resmi yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Sementara bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama (termasuk penghayat kepercayaan), kolom tersebut tidak diisi. Pada praktiknya, akibat kolom agama yang kosong tersebut, penghayat kepercayaan sering mendapatkan diskriminasi.
Penelitian Wahid Foundation menyebutkan, mereka biasanya mendapat perlakuan diskriminatif dalam pekerjaan dan pencatatan pernikahan.
Praktik diskriminasi yang mereka alami bahkan sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Kita ingat, pernah ada UU PNPS 1/1965 tentang penodaan agama yang semangatnya adalah melindungi agama dari penodaan oleh aliran kepercayaan. Pasca peristiwa 30 September 1965, penganut aliran kepercayaan juga mendapat masalah besar karena dituding sebagai bagian dari komunis.
Pada era orde baru, lahir pula Tap MPR 4/1978 yang menyatakan bahwa kepercayaan bukanlah agama melainkan kebudayaan. Di era ini muncul kolom agama (yang harus diisi satu diantara lima agama "resmi") dalam formulir pencatatan sipil.
Pada era reformasi ketika isu pengakuan dan penegakan HAM deras bergulir, para penghayat kepercayaan seperti mendapatkan pengakuan. Namun tatkala UU Adminduk direvisi tahun 2006, mereka kembali mengalami diskriminasi karena identitas penghayat kepercayaan ternyata tidak dapat dicatatkan dalam kolom agama.
Beberapa perwakilan penghayat kepercayaan kemudian menggugatnya ke MK dan berhasil. Salah satu pertimbangan MK saat itu menyebutkan, hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional (constitutional rights) warga negara, bukan pemberian negara.