Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pak Jokowi, Jangan Memilih Menteri (Asal) Milenial

4 Juli 2019   21:53 Diperbarui: 5 Juli 2019   13:12 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi--Deklarasi Relawan Generasi Milenial (Antara Foto/Reno Esnir)

Pernyataan Jokowi yang ingin menempatkan kaum milenial sebagai Menteri di kabinet mendatang, menjadi salah satu perbincangan hangat di ruang publik. Spekulasi bermunculan mulai dari posisi Menteri yang dianggap cocok diisi kaum milenial, hingga mengerucut pada nama-nama yang dianggap layak menempatinya.

Jokowi dan Maruf Amin memang sudah resmi ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh gugatan yang diajukan oleh kompetitornya, pasangan calon 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.    

Sesuai jadwal, bulan Oktober mendatang pasangan calon terpilih akan dilantik secara resmi menjadi Presiden-Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024.

Pemerintahan yang baru tentu harus segera membentuk kabinet yang berisi jabatan-jabatan kementerian dan setingkat dengan itu berikut orang-orang yang menduduki jabatan tersebut. Masing-masing kementerian itulah yang bertugas mengejawantahkan program kerja pemerintah sekaligus menunaikan janji-janji yang sudah dibuat kandidat terpilih di masa-masa kampanye.

Dengan kata lain, tugas Menteri memang sangat vital dalam menentukan tercapai atau tidaknya program dan janji-janji pemerintah. Para Menteri merupakan pembantu presiden pada bidang teknis masing-masing yang menentukan keberhasilan pemerintah.

Semua kementerian memiliki tugas dan fungsi yang sama pentingnya. Tidak ada yang berhak mengklaim lebih penting dari yang lain. Masing-masing memiliki tantangan berat yang harus dihadapi, sekaligus target dan tujuan yang mesti diraih.      

Memilih orang-orang yang tepat untuk ditempatkan di posisi sepenting itu, tentu bukan pekerjaan mudah. Bisa dikatakan, ini menjadi tugas maha berat sekaligus menentukan yang harus dikerjakan oleh pemerintahan terpilih sesaat setelah mereka resmi dilantik.

Kegagalan menempatkan orang-orang yang tepat di kabinet, bisa jadi sumber malapetaka bagi pemerintahan mendatang. Program-program yang sudah direncanakan akan berantakan dan ujung-ujungnya rakyat juga yang menjadi korban.    

Belum lagi pemerintah harus menimbang-nimbang banyak masukan dari berbagai pihak mengenai kandidat yang dianggap layak menduduki posisi tersebut. Tentu saja termasuk permintaan dari pihak-pihak yang selama ini dianggap berjasa memenangkan paslon saat pemilu lalu.  

Berkaitan pernyataan Jokowi mengenai Menteri dari kalangan milenial, sebenarnya sah-sah saja karena memang tidak ada ketentuan batasan minimal usia yang harus dipenuhi seseorang bila ingin dipilih menjadi Menteri.

Sisi positifnya, ini juga menjadi penyemangat dan sumber motivasi bagi kalangan milenial untuk terus berpacu dan berprestasi karena mereka akan diberi kesempatan untuk menduduki jabatan yang sangat prestisius di negara ini.

Namun, tentu kita harus mengingatkan Pak Jokowi agar berhati-hati sehingga ia tak "tersandera" oleh pernyataannya sendiri. Dengan kata lain, jangan sampai posisi Menteri justru dijabat oleh kalangan yang asal milenial. Maksudnya, hanya demi memenuhi "kuota" kalangan milenial, akhirnya kompetensi menjadi dinomor duakan alias dikorbankan.

Bila memang pemerintah berhasil menemukan sosok dari kalangan milenial yang dianggap memiliki kompetensi unggul dan layak memimpin sebuah kementerian, tentu mereka memang patut diberikan kesempatan.    

Satu hal yang harus diingat, jabatan Menteri harus diisi oleh orang-orang unggul dan memiliki kompetensi di bidangnya masing-masing. Terlepas apakah ia dari kalangan milenial atau tidak.

Jabatan Menteri sangat penting dalam menentukan keberhasilan pemerintah, sehingga tak layak bila dijadikan ajang coba-coba apalagi sekadar "bancakan" para mitra koalisi yang mungkin merasa paling berjasa. Atau sekadar mengakomodir lawan-lawan politik di pemilu lalu, atas nama rekonsiliasi.  

***

Jambi, 4 Juli 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun