Regenerasi petani. Pasangan kata ini bisa disebut sebagai salah satu persoalan besar yang sedang dihadapi berkaitan dengan masa depan pertanian kita. Ya, masa depan pertanian sedang terancam karena diduga semakin sedikit orang yang mau sungguh-sungguh meneruskan profesi di bidang ini yaitu sebagai petani.
Bahasa lebih sederhana menyebutkan, Indonesia sedang mengalami krisis petani muda. Beberapa data menunjukkan bahwa mayoritas lahan pertanian kita dikelola oleh petani yang memang sudah berusia lanjut menurut kemampuan dan pengalaman yang mereka miliki.
Hasil survei LIPI menunjukkan hampir tidak ada anak petani yang ingin menjadi petani. Survei menyebutkan, hanya sekitar 4 % pemuda usia 15-35 tahun yang berminat menjadi petani. Sementara itu, dari total jumlah petani yang ada, sekitar 65 % sudah berusia di atas 45 tahun.
Kebanyakan generasi muda (bahkan anak petani sekalipun) kelihatannya memang tak terlalu tertarik untuk meneruskan profesi sebagai petani. Pekerjaan sebagai petani dianggap kurang memiliki masa depan terutama karena minimnya penghasilan. Petani juga identik dengan pekerjaan yang menguras keringat dan melelahkan karena harus mencangkul di sawah, di bawah sengatan terik matahari. Padahal, lagi-lagi hasilnya pun tak seberapa.
Sejalan dengan itu, kebanyakan orangtua yang berprofesi sebagai petani pun seolah tak rela anaknya hanya sekadar melanjutkan profesi sebagai petani. Mereka justru mendambakan anak-anaknya bekerja di sektor lain yang dianggap lebih keren dan terhormat. Mereka lebih ingin anak-anaknya bekerja di kantoran, berpakaian rapi, dan memiliki penghasilan yang rutin setiap bulannya.
Motivasi para orangtua menyekolahkan anaknya hingga tingkat yang tinggi pun ternyata didasari keinginan supaya anak-anaknya kelak punya kesempatan lebih baik untuk tidak bekerja sebagai petani. Ironis? Mungkin. Tetapi ini yang banyak terjadi.
Tentu tidak salah bila orangtua mendambakan/merencanakan kehidupan masa depan yang lebih baik untuk anak-anaknya. Menjadi masalah ketika profesi sebagai petani seakan-akan sudah distigma sebagai pekerjaan yang patut dihindari. Seolah-olah mereka yang sudah berpendidikan tinggi, tidak layak lagi berkecimpung di sektor pertanian.
Pada sisi yang lain, jangan pula diklaim bahwa penurunan jumlah petani merupakan sebuah kemajuan. Logika sederhananya, bila jumlah petani semakin hari semakin sedikit bahkan terancam "punah", lalu siapa yang akan mengelola sektor pertanian kita? Bagaimana nasibnya? Bahan pangan hasil pertanian yang sehari-hari kita konsumsi dan butuhkan, siapa yang akan menyediakan?
Petani muda SantiagoÂ
Bicara soal regenerasi petani, saya jadi teringat pengalaman sekitar empat tahun lalu saat berkunjung ke Santiago. Oh ya, Santiago dimaksud bukanlah ibukota Chile, salah satu negara di Amerika Selatan. Yang saya maksud adalah salah satu nagari/desa terpencil di kabupaten Solok, provinsi Sumatera Barat yaitu Sariak Alahan Tigo. Kebanyakan penduduk setempat memilih menyingkat nama desanya dengan sebutan Santiago. Selain lebih singkat juga agar terdengar "go internasional", katanya.
Waktu itu, kunjungan saya bersama teman-teman dalam rangka memonitoring kegiatan bantuan penanaman bibit kayu-kayuan/MPTS yang dilaksanakan salah satu kelompok tani. Saya agak kaget karena ternyata kelompok tani tersebut beranggotakan anak-anak muda yang berumur di kisaran 20-30 an tahun. Mereka memiliki dan mengelola lahan sendiri yang diwariskan oleh orangtua masing-masing.
Sedikit ngobrol, saya sudah bisa menebak rata-rata mereka pasti pernah mengecap dunia pendidikan tinggi. Ternyata benar, sebagian memang sudah menyandang gelar sarjana dari kampus yang ada di ibukota provinsi. Sebagian lagi, ada yang berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir.
Yang menarik bagi saya, ternyata banyak inovasi dan kegiatan yang sudah dan sedang mereka kerjakan. Salah satunya, mereka memamerkan produk-produk beras organik (beras putih, beras merah dan beras hitam) yang sedang dikembangkan, promosikan bahkan sudah dipasarkan secara meluas. Tidak hanya beras, mereka juga mengembangkan komoditas lain, misalnya kayu manis, jahe, lengkuas yang dibudidayakan secara organik.
Prestasi dan penghargaan yang telah mereka raih tentu tak hadir begitu saja, melainkan sudah melalui proses yang panjang dan berliku. Sejak tahun 2008, para petani muda tersebut telah menginisiasi pembentukan Perkumpulan Petani Organik (PPO) Santiago. Tujuan utama berdirinya perkumpulan ini untuk mengangkat bidang pertanian yang berwawasan lingkungan. Ide sederhana tersebut lahir karena mayoritas penduduk desa mereka memang berprofesi sebagai petani.
InspirasiÂ
Pengalaman bertemu langsung dengan petani muda di Santiago tersebut memberikan saya inspirasi bahwa regenerasi petani memang penting serta harus dilakukan. Beberapa hal bisa dicatat diantaranya;
Pertama, pertanian butuh inovasi dan ide-ide kemajuan. Regenerasi petani dibutuhkan bukan sekadar agar ada orang yang melanjutkan profesi tersebut. Lebih dari itu, keterlibatan kaum muda (berpendidikan) perlu dalam rangka "menyuntikkan" semangat dan inovasi baru yang membuat sektor pertanian menjadi lebih maju dan bergairah lagi.
Kedua, petani bukan sekadar bercocok tanam. Untuk mengembangkan sektor pertanian, butuh petani-petani yang memiliki kemampuan dan keterampilan menyerap informasi dan berkomunikasi dengan pihak luar, manajerial, memberi nilai tambah produk, melakukan promosi, membaca peluang dan pasar, mencari/memanfaatkan program serta bantuan dari pihak luar dan keterampilan lainnya.
Ketiga, menjadi sumber inspirasi. Kerja keras para petani muda di Santiago secara nyata berhasil mengangkat nama desa kecil mereka hingga ke tingkat yang jauh lebih tinggi. Berkat inovasi yang terus mereka lakukan, nama desa dan produk-produk pertanian yang dihasilkan pun bisa menembus pasar global bahkan internasional. Tidak lupa, mereka terus merangkul, memotivasi, sekaligus membimbing para petani lain agar ikut bergabung memajukan sektor pertanian mereka. Â Â Â
Peran pemerintah (?)Â
Bila ada anggapan bahwa pemerintah abai dan sama sekali tidak serius memberi perhatian pada isu regenerasi petani, saya kira itu perlu dikoreksi. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah melakukan beberapa strategi agar terjadi regenerasi petani.
Penambahan program studi berorientasi agribisnis hortikultura, agribisnis perkebunan, mekanisasi pertanian pada enam Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STTP), pelibatan mahasiswa/alumni/pemuda tani untuk mengintensifkan pendampingan/pengawalan program Kementerian Pertanian, penumbuhan kelompok usaha bersama (KUB) yang difokuskan bidang pertanian bagi pemuda tani, pelatihan dan magang bagi pemuda tani, optimalisasi penyuluh merupakan beberapa hal yang sudah dan terus dikerjakan pemerintah.
Bahwa berbagai upaya tersebut dirasakan belum berhasil sebagaimana diharapkan, tentu ini yang harus terus didorong dan diberi masukan agar hasilnya benar-benar optimal. Saya yakin, para petani muda yang terjun dan serius ingin memajukan sektor pertanian di daerahnya masing-masing, tentu tak hanya ada di desa Santiago, Solok. Pemerintah perlu menemukan mereka sekaligus memberikan dukungan-dukungan nyata sehingga dampaknya kian meluas dan bisa membawa perubahan.
Salah satu persoalan besar yang menghambat proses regenerasi petani adalah mengenai persepsi yang menganggap profesi sebagai petani bukanlah pilihan yang ideal. Ini yang perlu diluruskan. Menghadirkan lebih banyak lagi success story petani-petani muda di penjuru nusantara merupakan salah satu langkah yang konkret untuk dilakukan.
Untuk melawan persepsi yang telanjur diyakini bertahun-tahun lamanya tidak cukup sekadar memberi penjelasan atau berbagai penyuluhan. Bukti nyata keberhasilan yang sudah diraih orang lain akan lebih kuat untuk mengubah persepsi.
Dan bila sudah semakin banyak petani yang mampu berinovasi, tentu sektor pertanian kita pun akan terus dan semakin maju di masa-masa mendatang. Semoga
***
Jambi, 19 Mei 2019 Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H