Sudah tepatkah otoritas kampus mengambil peran sebagai fasilitator "jalan damai" atas kasus pemerkosaan yang terjadi? Benarkah ini bisa menjadi bahan pembelajaran yang terbaik untuk kedepannya dan untuk semua?
Jangan lupa, sejak awal bergulir dan ramai diperbincangkan, sudah banyak yang mempertanyakan keseriusan dan sikap pihak kampus dalam menanggapi kasus ini. Terindikasi kuat, pihak kampus ingin kasus ini cepat selesai dan tidak diperpanjang.
Tidakkah lebih baik bila pihak kampus membiarkan bahkan ikut mendorong kasus ini dibawa ke ranah hukum sehingga ada proses pembelajaran yang seadil-adilnya baik untuk pelaku maupun korban.
Dalam kasus pemerkosaan, si korban tentu saja menjadi pihak yang paling dirugikan. Ia akan mengalami trauma mendalam bahkan malu atas peristiwa yang pernah dialaminya itu. Ia mungkin bisa mengampuni si pelaku, namun belum tentu bisa melupakan detail peristiwa naas yang dialaminya.
Dari sisi pelaku, kira-kira apa pelajaran penting yang akan didapatkannya? Apakah ia akan berkesimpulan bahwa ternyata "hukuman" memperkosa wanita di republik ini adalah (sekadar) menanda tangani surat perdamaian dan menyatakan penyesalan?
Saya membaca di salah satu media online, saat ini pelaku melalui kuasa hukumnya sedang menyiapkan surat yang ditujukan ke Rektor UGM, menuntut agar yang bersangkutan (HS) tetap diwisuda bulan Februari ini. Hebat sekali, bukan?
Sindiran Acho memang benar. Saat ini di negara kita, sepertinya memang lebih berbahaya dan lebih berat hukumannya bermain twitter daripada mempermainkan kehormatan (memperkosa) wanita.Â
***
Jambi, 5 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H