Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan featured

Ketika UU ITE Digunakan Menjerat Saksi dan Korban

16 November 2018   19:14 Diperbarui: 9 Juli 2019   12:01 1567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Logika pembuatan peraturan perundang-undangan kita semestinya senantiasa bertujuan menciptakan keteraturan serta memberi kemanfaatan bagi publik. Sehingga ada yang salah ketika sebuah peraturan justru menimbulkan kegaduhan baru dan bahkan kurang dirasakan manfaatnya oleh publik.

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang nomor 11 tahun 2008 atau UU ITE adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum.

UU ITE ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Secara normatif, UU ini bertujuan baik yaitu sebagai respon terhadap kemajuan teknologi informasi dan potensi pelanggaran yang mungkin terjadi. UU ini bisa dikatakan sebagai "rambu-rambu" yang mengatur publik khususnya terkait penggunaan informasi dan transaksi elektronik. 

Sayang sekali, pada praktiknya kita melihat UU ini justru disalahgunakan menjadi alat yang digunakan untuk membungkam bahkan menjerat para saksi dan korban. Kasus teranyar dialami Baiq Nuril Maknun, seorang staf honorer di salah satu sekolah menengah di Mataram. 

Nuril seperti harus menelan pil pahit, ia divonis bersalah melanggar UU ITE dan harus menjalani hukuman 6 bulan penjara, denda 500 juta rupiah. Publik bereaksi keras dan menuntut Nuril dibebaskan. Di dunia maya, teriakan dan tuntutan tersebut menggema begitu hebat. Ada pula yang menginisiasi pengumpulan dana untuk membayar vonis Nuril dan sampai hari ini sudah menyentuh angka lebih dari 100 juta rupiah. 

Kasus yang dialami Nuril memang wajar mengusik rasa kemanusiaan kita. Sejatinya, Nuril adalah korban pelecehan seksual oleh oknum kepala sekolah yang sering menghubunginya lewat telefon dan melontarkan kalimat-kalimat cabul. 

Nuril yang merasa tidak nyaman dengan perilaku sang kepala sekolah kemudian merekamnya. Oleh seorang teman Nuril, perbincangan tersebut terbongkar dan beredar di masyarakat. Oknum kepala sekolah tersebut tidak terima dan melaporkan Nuril ke polisi. 

Sejak 27 Maret 2017, Nuril diproses polisi dan ditahan. Nuril disangkakan melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Dia pun ditahan di tingkat penyidikan hingga persidangan. 

Pada Juli 2017, PN Mataram membebaskan Baiq Nuril. Hakim PN Mataram menilai perbuatan Nuril tidak melanggar UU ITE di pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) tersebut sebagaimana dakwaan jaksa. 

Naas dialami Nuril, pada sidang kasasi yang diketuai majelis hakim agung Sri Murwahyuni, dengan anggota majelis hakim agung Maruap Dohmatiga Pasaribu dan hakim agung Eddy Army, Nuril justru divonis bersalah. Nuril yang merupakan korban pelecehan malah berbalik menjadi tersangka dan terancam menjadi tahanan di penjara.

Perlindungan  

Sebelum Bu Nuril, UU ITE juga sempat menelan korban yang lain. Beberapa tahun sebelumnya, publik sempat heboh dengan kasus yang dialami Prita Mulyasari. Hanya gara-gara menyampaikan keluhan terkait pelayanan rumah sakit, Prita menjadi tersangka dan ditahan lagi-lagi karena dituduh melanggar UU ITE. Lebih mengenaskan, saat itu Prita sedang dalam kondisi hamil. 

Wisniati, seorang perempuan asal Bandung, Jawa Barat juga pernah terkena pidana lima bulan penjara. Sebabnya, dia dilaporkan oleh mantan suaminya sendiri dengan pasal serupa yang dijeratkan pada Nuril. Masih banyak kasus yang lain. 

Fakta-fakta ini yang membuat publik mempertanyakan manfaat UU ITE yang ternyata dirasakan sudah melenceng dari tujuan awalnya. Regulasi ini terkesan menjadi alat untuk membungkam bahkan menjerat para saksi dan korban. Bagaimana mungkin seorang korban pelecehan seperti Nuril justru menjadi tersangka dan dijatuhi vonis hukuman sementara dia sedang mempertahankan kehormatan dirinya. 

"Kasus yang dialami Nuril memang wajar mengusik rasa kemanusiaan kita. Sejatinya, Nuril adalah korban pelecehan seksual oleh oknum kepala sekolah yang sering menghubunginya lewat telefon dan melontarkan kalimat-kalimat cabul."

Banyak desakan agar UU ITE ini segera direvisi bahkan bila perlu dicabut. Tujuannya tentu saja agar tak ada lagi orang-orang yang menjadi korban seperti Nuril, Prita, Wisniati, dan lainnya.             

Kisah pilu yang dialami para korban seolah memberikan sinyal pada para saksi dan korban agar berpikir ulang berkali-kali sebelum memutuskan melaporkan tindak pidana yang dilihat atau dialaminya secara langsung. Agar tak repot berurusan dengan hukum, maka para saksi dan korban harus tutup mulut.

Kondisi ini jelas sangat tidak ideal bagi kemajuan bangsa. Negara semestinya berperan mendorong peran serta aktif masyarakat agar tidak apatis melainkan pro aktif melaporkan setiap tindak kejahatan yang diketahui bahkan mungkin dialaminya secara langsung, bukan malah mendiamkannya.

Pelibatan masyarakat agar lebih berani menjadi saksi, terlebih lagi mereka yang menjadi korban langsung suatu tindak kejahatan secara normatif sudah dijamin setelah terbentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Sebagai lembaga profesional, LPSK mengemban tanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada para saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

Logo LPSK (KOMPAS.com/SRI LESTARI)
Logo LPSK (KOMPAS.com/SRI LESTARI)
Berkaitan dengan tugas perlindungan saksi dan korban, saya melihat sepertinya UU ITE telah berubah menjadi "musuh" yang kontra terhadap tugas mulia yang diemban LPSK. Sementara LPSK bertugas melindungi, UU ini justru menjadi alat menjerat saksi dan korban.

Tanpa adanya UU ITE ini pun sebenarnya LPSK sudah punya beban berat untuk mendorong, meyakinkan sekaligus melindungi para saksi dan korban. Bisa dimaklumi karena banyak konsekuensi yang harus dihadapi. Terkhusus para korban kejahatan, mereka pun biasanya cenderung mendiamkan dan enggan melaporkan entah karena ketakutan atau masih mengalami trauma mendalam.

Saya kira, salah satu langkah paling konkret yang bisa segera ditempuh LPSK dalam rangka menjalankan tugasnya adalah menginisiasi sekaligus mendorong terjadinya revisi/perubahan bahkan bila perlu pencabutan UU ITE.       

Bangsa ini harus diselamatkan. Jangan pernah biarkan para pelaku kejahatan bebas berkeliaran tak tersentuh hukuman serta berpotensi mengulangi perbuatannya, sementara para saksi dan korban harus selamanya terbungkam hidup dalam trauma dan ketakutan. Dukung kinerja LPSK untuk melayani dan melindungi masyarakat khususnya para saksi dan korban.    

***

Jambi, 16 November 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun