Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pembelajaran Kasus Korupsi Proyek Tugu Antikorupsi

3 November 2018   23:29 Diperbarui: 5 November 2018   12:53 1942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Antikorupsi (Foto: detik.com)

Acho, seorang komika nasional, melalui akun twitter pribadinya @MuhadklyAcho menanggapi pemberitaan salah satu media online sembari menuliskan cuitan :

Seberapa greget lo ?

Ada pembuatan tugu antikorupsi

Terus ?

Budgetnya gue korupsi

Ya, Acho memang sedang menyindir kasus korupsi yang terjadi di kota Pekanbaru, provinsi Riau. Ironis memang, korupsi terjadi pada proyek pembangunan tugu antikorupsi. 

Kasus ini sebenarnya sudah mencuat sejak setahun silam. Sebanyak 18 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka meskipun 9 orang diantaranya masih belum dilakukan penahanan.

"Totalnya ada 18 orang. Dari jumlah itu, 6 orang sudah divonis, 3 orang lagi kemarin sudah tahap II. Sisa sekarang 9 tersangka lagi yang belum ditahan," kata Humas Kejati Riau, Muspidauan kepada detikcom, Jumat (2/11/2018).                   

Menurut Muspidauan, 9 tersangka ini proses pemberkasannya masih belum rampung. Pihaknya masih menunggu proses persidangan 3 tersangka yang kini sudah diserahkan ke penuntut.

Proyek pembangunan tugu yang menelan anggaran hingga Rp 8 miliar ini sebenarnya sudah selesai sejak tahun 2016 lalu dan sudah diresmikan bertepatan hari antikorupsi internasional, 9 Desember 2016.

Tugu Antikorupsi (Foto: detik.com)
Tugu Antikorupsi (Foto: detik.com)
Konon, pembangunan tugu bergambar keris itu hendak menandakan bahwa Riau berbenah untuk menghilangkan perilaku koruptif. Sebab, tiga gubernur Riau secara berturut-turut ditangkap KPK dalam berbagai masalah korupsi. Mereka adalah: Saleh Djasit (1998-2003), Rusli Zainal (2003-2008, 2008-2013), dan Annas Maamun (2014). 

Sialnya, setelah dilakukan audit oleh BPK ternyata ditemukan kerugian negara dalam proyek pembangunan tugu antikorupsi tersebut, sebesar Rp 1,23 miliar. Korupsi dilakukan secara berjamaah, terindikasi dari 18 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.Publik heran. Publik geram. Perilaku koruptif sedemikian hebatnya berhasil menguasai akal pikiran manusia. Proyek yang menggunakan embel-embel "antikorupsi" pun terbukti tak bisa menciutkan niat melakukan korupsi. Tak ada rasa malu dan tak peduli sama sekali.

Dari kasus ini semestinya kita sama-sama belajar. Upaya memerangi korupsi memang takkan pernah berhasil bila sekadar dilakukan secara simbolik. 

Membangun tugu seindah, sekokoh dan semegah apapun jelas tak berkorelasi dengan pemberantasan korupsi, sekalipun tugu tersebut diberi nama "tugu antikorupsi". Kalau memang ingin dan sudah terbiasa korup, pasti korup.      

Mengobarkan semangat antikorupsi semestinya dilakukan dengan cara-cara yang lebih tepat dan menyentuh hati masyarakat. Jangan malah sekadar menjadikannya sebagai ide proyek. 

Tidak harus berfoya-foya dan menghabiskan banyak anggaran karena yang terpenting adalah keteladanan dari para pemimpin.

Kelemahan birokrasi kita sejak dulu hingga kini memang terbiasa menghabiskan energi, waktu dan dana untuk hal-hal yang sifatnya sekadar simbolik dan seremonial. 

Birokrasi kita kurang kreatif merancang program-program yang bisa menyentuh langsung masyarakat, tepat sasaran dan hadap masalah.

Setiap masalah dihadapi dengan cara-cara lama dan biasa-biasa. Tanggung jawab dianggap selesai setelah acara gunting pita yang menandakan proyek dan program dilaksanakan tanpa harus pusing memikirkan efektivitasnya menyelesaikan masalah.

Yang ada, sekarang publik malah semakin greget dan dibuat geleng-geleng kepala. Niat pemerintah daerah membangun tugu antikorupsi tapi dananya malah dikorupsi. Aneh bin ajaib.

Sejak awal, ide membangun tugu ini memang terbilang janggal dan bermasalah. Dengan alasan untuk menghilangkan perilaku koruptif, dibangunlah tugu. 

Lalu, untuk membangun tugu tersebut, pemerintah daerah harus menganggarkan dana miliaran rupiah. Entah apa urgensinya, padahal dana sebesar itu akan terasa lebih bermanfaat bila disalurkan untuk program-program yang lebih tepat sasaran. 

Saya membayangkan, siapapun yang melihat tugu tersebut pasti akan malu dan enggan menyebutnya sebagai tugu antikorupsi. Sebaliknya, mereka pasti akan menyebutnya sebagai proyek tugu (yang) dikorupsi. 

Sekali lagi, kasus ini harus menjadi pembelajaran berharga buat semua, jangan sampai terulang lagi dimanapun dan kapanpun.

***

Jambi, 3 November 2018    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun