Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kenaikan Gaji PNS, Siasat Jokowi Memenangi Pilpres?

20 Oktober 2018   12:27 Diperbarui: 20 Oktober 2018   13:29 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo (Foto: Kompas.com/Andreas Lukas Altobely)

Kabar gembira bagi PNS, TNI, Polri dan pensiunan. Setelah sempat tiga tahun berturut-turut tak pernah merasakan kenaikan gaji, pemerintah akhirnya berubah pikiran dan membuat kebijakan baru. 

Sejak awal menjabat, Joko Widodo-Jusuf Kalla memang bertekad untuk mengalihkan sektor konsumtif ke produktif. Belanja pegawai dinilai masuk dalam kategori sektor konsumtif, sehingga pemerintah memutuskan tidak ada lagi kenaikan gaji bagi pegawai negeri sipil, anggota TNI, Polri hingga pensiunan. 

Pengumuman kenaikan gaji bagi aparatur negara disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi dalam Rapat Paripurna RAPBN 2019 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 18 Agustus 2018.

"Pada 2019, pemerintah akan menaikkan gaji pokok dan pensiun pokok bagi aparatur negara serta pensiunan sebesar rata-rata 5 persen," ucap Presiden Jokowi.

Sebagaimana dilansir kompas.com, Jokowi beralasan, kenaikan gaji ini dilakukan pemerintah lantaran untuk melanjutkan tren positif yang terjadi pada birokrasi selama 2018. Pada 2018, pemerintah telah melakukan percepatan pelaksanaan reformasi di 86 kementerian/lembaga (K/L) guna memberikan pelayanan publik yang lebih mudah, baik, dan cepat, serta transparan. 

Rencana kenaikan gaji pokok dan pensiun pokok itu pun diharapkan Jokowi bisa semakin memberikan peningkatan kualitas birokrasi dalam negeri.

"Peningkatan kualitas dan motivasi birokrasi terus dilakukan agar aparatur negara makin profesional, bersih, dan terjaga kesejahteraannya," tutur Jokowi.

Tahun politik

Seperti biasa, setiap kebijakan yang diambil pemerintah pasti akan selalu menimbulkan pro dan kontra di ruang publik. Pihak pendukung pemerintah akan selalu pro dan mendukung, sebaliknya pihak oposisi hampir selalu kontra atau minimal nyinyir. 

Terlebih lagi di masa-masa kontestasi politik yang tinggal beberapa bulan lagi. Masing-masing pihak akan bertarung memengaruhi persepsi publik sekaligus mencoba menarik simpati. 

Sekali lagi, itu hal-hal yang wajar dan biasa saja dalam konteks pertarungan politik. Kita harus sadar dan tak bisa dimungkiri bahwa salah satu kemewahan yang pasti dimiliki setiap petahana adalah bisa menentukan paket kebijakan populis sekaligus memilih momentum yang tepat untuk meluncurkannya. 

Sementara itu, pihak oposisi juga memiliki kemewahan untuk selalu mengeritik bahkan menolak apapun kebijakan yang disampaikan pemerintah. Tentu sembari menebar janji bila diberi kesempatan, mereka akan mampu bekerja lebih baik dari pemerintahan saat ini. 

Kedua kubu boleh saja habis-habisan saling serang satu sama lain, namun akhirnya warga sendiri yang akan memilih dan memutuskan kubu mana yang akan dipercayainya. 

Dalam konteks pertarungan politik nanti, sebagaimana sudah diungkapkan para pengamat politik, lahan pertarungan sesungguhnya para elite adalah memperebutkan suara para swing voters alias pemilih mengambang. 

Sementara mereka yang termasuk golongan pendukung garis keras diyakini takkan goyah sedikitpun bahkan oleh isu apapun dan mereka akan tetap konsisten pada keyakinan pilihan politiknya.

Sepopulis apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah di akhir periode pemerintahan saat ini, takkan bisa memengaruhi pilihan politik mereka yang sudah memantapkan diri berada di garis oposisi dan menginginkan pergantian kepemimpinan.

Demikian halnya, seburuk apapun persepsi terhadap pemerintah yang terus-menerus dibangun kubu oposisi, takkan mampu mengubah pilihan politik para pendukung fanatik pemerintah.

Saya meragukan anggapan bahwa kebijakan kenaikan gaji PNS yang ditetapkan pemerintah tepat di saat memasuki tahun-tahun politik, murni merupakan siasat untuk memenangi Pilpres. Bila Jokowi ingin meraup simpati "birokrasi" semestinya kenaikan gaji tetap dijadikan paket kebijakan rutin setiap tahun, sebagaimana dilakukan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.

Bagaimanapun, kebijakan pemerintah saat ini yang memutuskan tidak meneruskan "tradisi" menaikkan gaji PNS setiap tahunnya, dalam tiga tahun berturut-turut sudah menggerus kepercayaan sebagian besar PNS. 

Dengan bahasa lebih sederhana, bila tujuannya sekadar ingin menarik simpati dan meraup suara aparat birokrasi, kebijakan ini bisa dikatakan sudah cukup terlambat.

Selanjutnya bila dilihat dari sisi sebaliknya, kebijakan kenaikan gaji saat ini justru bisa menjadi "sasaran tembak" pihak oposisi untuk menyerang pemerintah. Oposisi bisa menuding kebijakan ini sebagai pemborosan anggaran, lalu dikaitkan dengan tren penurunan nilai tukar rupiah, pembiayaan rehabilitasi daerah korban bencana alam, hutang luar negeri dan sebagainya. 

Satu hal yang pasti, waktu akan menjadi hakim yang adil buat semua. Waktu akan menunjukkan, benarkah kebijakan pemerintah saat ini menaikkan gaji PNS semata-mata untuk mendorong kualitas dan motivasi para aparat birokrasi ? 

Atau sebaliknya, kebijakan kenaikan gaji PNS saat ini memang tujuannya untuk kepentingan kontestasi politik, dengan mengorbankan pembiayaan sektor-sektor lain yang mungkin jauh lebih membutuhkan ?  

***

Jambi, 20 Oktober 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun