Seorang suporter klub Persija bernama Haringga tewas setelah mengalami pengeroyokan yang dilakukan kelompok suporter yang lain. Publik sepak bola geram dan menyesalkan terjadinya insiden tersebut.Â
Jika dirunut mundur, tentu ini bukan yang pertama kali terjadi. Aksi kericuhan melibatkan antar suporter klub sepak bola yang menelan korban jiwa sudah beberapa kali terjadi. Pertandingan bola yang seharusnya mempertontonkan kegembiraan berubah menjadi ajang pembantaian yang menakutkan.Â
Ketika kejadian memilukan ini terulang lagi, wajar publik mempertanyakan sekaligus menuntut kesungguhan upaya dan peran pihak-pihak yang berkompeten mengurusi bidang ini.
Persepakbolaan kita memiliki wadah organisasi bernama PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia). Organisasi ini lengkap memiliki struktur kepengurusan yang lengkap dari tingkat pusat hingga daerah. Mereka dibekali fasilitas yang memadai dan mendapat status sosial yang cukup terhormat di tengah-tengah masyarakat.Â
Berbagai persoalan yang terjadi khususnya di dunia sepak bola kita ini semestinya menjadi tanggung jawab PSSI sebagai otoritas tertinggi. Bahkan ketentuan internasional juga "melarang" pemerintah mencampuri urusan PSSI yang memang harus dibiarkan independen. Beberapa waktu lalu sepak bola Indonesia pernah dikenai sanksi oleh FIFA lantaran menilai pemerintah terlalu mengintervensi.Â
Sayangnya ketika berbicara soal kepengurusan PSSI dari waktu ke waktu khususnya posisi ketua umum, kita diperhadapan pada satu ironi. Pengisian jabatan Ketum PSSI lama-kelamaan sifatnya menjadi sangat politis.Â
Posisi itu diperebutkan banyak orang yang sekadar merasa dirinya sebagai "tokoh" walaupun dari sisi kompetensi dan pemahamannya tentang sepak bola nasional masih menjadi tanda tanya besar.
Posisi ini memang terbilang sangat strategis mengingat olahraga sepak bola masih menjadi cabang olahraga yang paling mengakar di tengah-tengah masyarakat kita. Sepak bola banyak digemari bahkan dimainkan oleh masyarakat luas. Menjadi Ketum PSSI otomatis memperoleh "bonus" popularitas dengan sendirinya.
Setelah resmi dinyatakan sebagai pemenang Pilkada, banyak yang menyarankan bahkan menuntut Edy agar mengundurkan diri dari jabatan sebagai Ketum PSSI. Tak bisa dimungkiri, tugas sebagai Gubernur di provinsi seluas Sumatera Utara membutuhkan fokus dan konsentrasi yang luar biasa.
Edy adalah manusia biasa yang tentunya memiliki banyak keterbatasan, maka publik mengingatkan agar ia tak melakukan rangkap jabatan. Edy harus fokus pada satu bidang pekerjaan agar bisa menghasilkan prestasi-prestasi yang maksimal.
Namun sayang sekali, Edy tak bergeming dan tetap ngotot melakukan rangkap jabatan. Seakan tak peduli, di bawah kepemimpinannya selama ini, nyaris tak ada perubahan berarti di dunia sepak bola kita. Kejadian berulangnya kerusuhan antar suporter yang menyebabkan nyawa melayang menjadi bukti yang tak terelakkan lagi.
Sialnya, ketika Edy berkesempatan tampil di media untuk membeberkan tanggapan/sikap PSSI terkait kasus kematian suporter sepak bola termasuk soal rangkap jabatannya saat ini, ia justru berulah dengan mempertanyakan hak/urusan wartawan mempertanyakan itu. Edy bahkan ngambek dengan cara mengakhiri secara sepihak sesi dialog tersebut.
Ketika ada kesempatan yang baik untuk menyejukkan suasana sekaligus memberikan pertanggung jawaban ke publik, ia malah membuat ulah. Di depan publik, sang ketua umum malah mempertontonkan arogansi.
Beberapa waktu sebelumnya pun sempat viral video sang ketua umum menampar seorang suporter bola. Â Â Â
Saya berpikir, mungkinkah mempertontonkan arogansi memang menjadi cara terbaik untuk menutupi lemahnya kompetensi?
***Â
Jambi, 24 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H