Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mewujudkan Kampanye Damai di Media Sosial

23 September 2018   21:55 Diperbarui: 24 September 2018   08:35 1668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelepasan burung sebagai simbol perdamaian di Festival kampanye damai pemilu (Foto: kompas.com/ABBA GABRILIN)

Festival kampanye damai pemilu telah diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan melibatkan para kontestan. Harapan awalnya, itu bisa menjadi pesan bahwa kontestasi politik 2019 akan berjalan dengan damai dan lancar tanpa hoaks, tanpa SARA. 

Secara jujur harus diakui bahwa acara-acara semacam ini sebenarnya tak lebih dari sekadar seremonial biasa dan sekadar rutinitas saja. Berbicara soal manfaatnya, masih menjadi tanda tanya besar. 

Lihat saja, ketika para kandidat memamerkan kehangatan dan kemesraan di acara tersebut, perang antar pendukung khususnya di media sosial masih terus berlangsung sengit. Saling ejek, saling sindir, bahkan saling hujat terus terjadi. 

Insiden yang terjadi di acara festival kampanye damai pun langsung menjadi bahan perdebatan yang entah dimana ujungnya. Aksi SBY yang melakukan WO (Walk Out) pada acara tersebut langsung dijadikan bahan untuk menyerang pihak yang satu sementara pihak yang lain menjadikan itu sebagai bahan olokan. 

Ada lagi insiden burung yang tak bisa terbang saat dilepas salah satu cawapres yang langsung ramai jadi bahan olok-olokan di media sosial. Tak hanya itu, kostum yang dikenakan salah satu petinggi partai politik pun tak luput menjadi bahan ejekan. 

Maka, acara festival kampanye damai ini pun sudah langsung kehilangan makna. Acara ini terkesan menjadi sekadar ajang "kepura-puraan", tempat mencari perhatian, dan kesempatan mencari kesalahan lawan. 

Seruan menjadikan kontestasi politik 2019 sebagai ajang keceriaan dan kegembiraan, mungkin hanya menjadi sekadar pepesan kosong. Faktanya, para politisi berikut para pendukungnya terus habis-habisan melakukan bahkan menghalalkan segala cara demi meraih kemenangan.

Media sosial

Jika kita benar-benar serius ingin mewujudkan pemilu damai, maka tempat paling tepat untuk memulainya adalah di media sosial. 

Hari-hari ini kita menyaksikan media sosial sudah menjadi tempat paling "bau" oleh aroma permusuhan dan kebencian. Media sosial juga seolah sudah menjadi "pabrik" sekaligus "pasar" informasi hoaks dan penggunaan isu SARA yang jelas-jelas berbahaya bagi kehidupan sosial masyarakat.

Kita menyaksikan, ada banyak pergesekan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat juga diawali dari konflik dan penyebaran konten-konten kebencian, berita bohong di media sosial. 

Lebih memprihatinkan, mereka yang dianggap sebagai "tokoh" juga turut serta bahkan terkadang menjadi pemicu berbagai perseteruan yang terjadi di media sosial. Kita ambil contoh, Fadli Zon. Jejak digital melalui cuitannya di twitter seringkali tak mencerminkan sosok seorang wakil pimpinan DPR sekaligus tokoh politik senior yang seharusnya bisa dijadikan panutan. 

Beberapa waktu sebelumnya, sebenarnya saya termasuk yang ikut menikmati cuitan-cuitan Fadli. Sebagai oposisi, ia sering memberikan kritikan-kritikan tajam mengenai substansi kebijakan pemerintah. Menurut saya, itu baik sebagai alat kontrol terhadap penguasa. 

Namun sayangnya, belakangan ini saya menilai cuitan Fadli tak lebih dari sekadar hasrat ingin menyerang penguasa, seakan tak peduli betapa dangkal atau ngawurnya hal-hal yang sedang dipersoalkan. 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) boleh saja mengklaim sudah menjalankan kewajibannya menyelenggarakan deklarasi damai antar para kandidat. 

Namun lebih penting dari itu sebenarnya adalah menuntut kesadaran dan tanggung jawab moral politisi dan partai politik untuk benar-benar mewujudkan pemilu 2019 menjadi pemilu yang damai dan sejuk.

Publik sangat menginginkan pertarungan antar kandidat benar-benar merupakan pertarungan ide maupun gagasan yang bersifat substantif bukan pertarungan soal isu-isu murahan apalagi kebohongan. 

Media sosial seharusnya bisa menjadi ujung tombak untuk menyebarkan pesan-pesan damai kepada para calon pemilih. Partai politik dan politisi punya tanggung jawab moral menggemakan kampanye damai di media sosial. 

Mereka seharusnya sadar bahwa keharmonisan dan persatuan bangsa ini lebih penting dari sekadar ajang perebutan kekuasaan. Jangan sampai demi ambisi mengejar kekuasaan, mereka tega menghalalkan segala cara.

Kedewasaan masyarakat selaku pengguna media sosial pun menjadi sangat dibutuhkan. Kita dituntut harus bisa menahan diri untuk tidak mudah terhasut nuansa-nuansa permusuhan dan kebencian di media sosial. 

Selain itu, penegak hukum dan pengawas pemilu juga harus berperan aktif untuk mereduksi praktik penyebaran aroma permusuhan dan kebencian di media sosial. Terlebih lagi penggunaan informasi hoaks dan SARA yang berpotensi merusak tatanan persatuan dan kesatuan bangsa. Bagaimanapun, Indonesia ini harus kita jaga bersama. 

***

Jambi, 23 September 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun