Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan featured

Hari Polwan, Masihkah Menuntut Kesetaraan?

1 September 2018   17:16 Diperbarui: 1 September 2021   06:29 1585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Polwan pertama di Indonesia (Foto: tribunnews.com)

Bukittinggi, kota kelahiran Bung Hatta menjadi tempat bersejarah lahirnya kesatuan Polisi Wanita (Polwan) Indonesia, tepatnya pada 1 September 1948. Ketika itu, selepas kemerdekaan, tingkat kejahatan dan kekerasan meningkat. 

Tidak saja oleh kaum laki-laki, tapi juga perempuan. Polisi sempat kewalahan karena banyak kasus yang melibatkan perempuan yang tidak ingin ditangani para polisi pria. Untuk urusan pemeriksaan badan, polisi meminta tolong pegawai negeri perempuan. 

Sebagai upaya untuk mengatasinya, pemerintah RI memberikan mandat kepada Sekolah Polisi Negara (SPN) di Bukittinggi untuk membuka pendidikan kepolisian bagi perempuan. 

Enam orang gadis remaja lulusan sekolah menengah terpilih untuk mengikuti pendidikan kepolisan wanita tersebut. Keenam perempuan itu adalah Mariana Saanin Mufti, Nelly Pauna Situmorang, Rosmalina Pramono, Dahniar Sukotjo, Djasmainar Husein, dan Rosnalia Taher. 

Kesuksesan keenam polwan itu tidak serta-merta mendapatkan respons positif. Butuh waktu lama untuk membuktikan diri. Terbukti hingga 1958, tidak ada penambahan jumlah polwan di Indonesia. Tetap enam orang. 

Kondisi itu membuat polwan sempat dihapuskan. Namun dukungan untuk kembali mengaktifkan polwan terus dilancarkan termasuk oleh Bhayangkari, organisasi istri polisi melalui Kongres Wanita Indonesia (Kowani) III. 

Tahun 1961, akhirnya dilakukan penerimaan perempuan untuk mengikuti pendidikan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) angkatan IX dan Akademi Angkatan Kepolisian (AAK) serta Pendidikan Bintara di Sekolah Angkatan Kepolisian (SAK) Sukabumi kembali dibuka.

Kesetaraan (?)

Hampir di setiap peringatan Hari Polwan, ternyata isu kesetaraan terus berkumandang. Kesetaraan dimaksud salah satunya soal populasi anggota polwan. Dilansir tirto.id, sebenarnya terjadi kenaikan akseleratif jumlah polwan, yaitu dari 3 persen pada 1990-1991 menjadi 9 persen pada 1991-1992.

Jumlah keseluruhan polwan pada 1992 adalah 5.277 orang dari total 166.658 polisi di Indonesia. Mereka mayoritas berpangkat sersan, selain 18 polwan dengan pangkat kolonel dan 1 orang dengan pangkat brigadir jenderal. 

Selang dua puluh tahun kemudian, presentase jumlah polwan ternyata tidak meningkat, bahkan cenderung menurun seiring semakin bertambah banyaknya personil polisi pria. Hingga akhir 2012, jumlah anggota polwan hanya 13.200 orang dari total 398.000 polisi atau cuma 3,6 persen. 

Tahun 2018, populasi polwan naik signifikan. Seperti yang dikatakan Kapolri Tito Karnavian, jumlah polwan sekitar 30 ribu personil, atau hampir 10 persen dari total jumlah anggota Polri yang berjumlah kurang lebih 400 ribu orang. 

Kenaikan ini, salah satunya, barangkali disebabkan oleh kebijakan Polri yang sejak 25 Maret 2015 memperbolehkan anggota polwan mengenakan kerudung, jilbab, atau hijab. 

Meskipun begitu, presentase yang kata Tito hampir 10 persen itu masih jauh dari harapannya. Kapolri mencanangkan target 30-40 persen untuk anggota polwan dari jumlah total polisi keseluruhan. 

Peran polwan di era milenial saat ini memang sangat diperlukan, termasuk untuk pendekatan yang lebih humanis lantaran selama ini polisi kerap dicitrakan kurang bersahabat. Kita ingat, beberapa waktu lalu ruang publik sempat heboh dengan tampilnya para "polisi cantik" di televisi. 

Polwan era milenial (Foto: okezone.com)
Polwan era milenial (Foto: okezone.com)
Relatif sedikitnya jumlah polwan dalam institusi Polri memang secara otomatis membuat jabatan-jabatan penting dalam institusi lebih didominasi polisi pria. Namun jangan salah, ternyata beberapa orang polwan sempat dan masih menduduki jabatan strategis sampai hari ini. 

Beberapa di antaranya: Brigjen Supartiwi yang menjabat Direktur Eksekutif JCLEC (Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation) di Semarang, Brigjen Ida Utari, Direktur Penguatan Lembaga Rehabilitasi Instansi Pemerintah, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Brigjen Basaria Panjaitan yang kini menjabat sebagai salah satu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  

Itu sekadar menjadi pembuktian bahwa tuntutan kesetaraan polwan sesungguhnya tak lagi relevan. Sejarah berdirinya polwan yang lahir di masa-masa perang dan kiprah para polwan hingga hari ini sebenarnya menggambarkan bahwa mereka adalah orang-orang tangguh yang punya banyak keunggulan.

Berbicara soal peran, tentu tak melulu soal kiprah jabatan. Sejarah mencatat, saat memasuki sekolah kepolisian, enam orang pionir polwan sebenarnya sempat dipandang remeh dan sinis. Namun, saat Agresi Militer Belanda II pada 18 Desember 1948, mereka sudah langsung terlibat dan ikut berjuang.

***

Jambi, 1 September 2018

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun