Lagi-lagi, tim sepakbola kita kalah. Kita kecewa, sedih dan bahkan marah. Menderita kekalahan dan mengalami kegagalan selama bertahun-tahun memang menyedihkan bahkan menyakitkan. Sementara harapan selalu dikumandangkan, apa daya selalu kandas di tengah jalan. Â Â Â
Banyak yang marah lalu mencari "kambing hitam". Alhasil, wasit yang memimpin pertandingan jadi pilihan sasaran. Wasit dituding tidak adil. Wasit menguntungkan pihak lawan karena memberi dua tendangan penalti. Â
Pelatih tim juga ikut menumpahkan kekesalan. Sembari berpamitan pada tim, ia sempat-sempatnya mengungkapkan kemarahan atas kepemimpinan wasit malam ini dan belum bisa menerima kekalahan. Â Â Â
Benarkah kita kalah semata-mata karena kepemimpinan wasit yang tak adil ?. Sementara hasil pertandingan harus ditentukan lewat drama adu penalti yang nyaris tak membutuhkan peran wasit.
Kita akui saja, tim lawan memang lebih beruntung. Selain itu, mental mereka juga terbukti lebih siap dan teruji. Ditengah gemuruh sorak-sorai penonton yang memadati stadion, mereka tetap mampu bermain tenang seolah tanpa tekanan.
Selalu menyalahkan kepemimpinan wasit semata-mata menunjukkan mental kita sebagai orang-orang kalah.
Mari mengaku dan jujur saja, sepakbola kita memang belum siap untuk menorehkan prestasi. Bertahun-tahun lamanya, kompetisi sepakbola kita tak diurus dengan serius. Kepengurusan sepakbola kita juga sekadar ajang perebutan kekuasaan dan "batu loncatan" guna meraih ambisi politik bagi sebagian orang.
Kita punya banyak stok bibit unggul pesepakbola di usia belia. Terbukti mereka sering meraih prestasi mentereng di luar negeri. Tibalah saat beranjak dewasa dan terjun di kompetisi liga domestik, bakat-bakat unggul itu seakan hilang tak berjejak.
Pembinaan sepakbola usia muda kita hampir selalu menjadi sorotan. Alih-alih serius dan memberi perhatian, pengurus sepakbola kita lebih senang menempuh jalan instan. Menaturalisasi pemain yang sudah "jadi", seolah-olah diantara ratusan jiwa penduduk kita sudah tak ada lagi bakat pemain bola yang mumpuni. Â Â
Kompetisi sepakbola kita memang masih jauh dari harapan. Banyak pertandingan masih diwarnai aksi kekerasan bahkan kericuhan, entah antar pemain di lapangan, atau antar suporter di luar lapangan. Banyak korban yang sudah berjatuhan.
Kasus-kasus semacam ini belum ditangani secara serius oleh pengurus PSSI. Alhasil, kasus serupa masih berulang terjadi. Tidak ada yang mau bertanggung jawab. Masing-masing sibuk mencari alibi dan pembenaran diri.
Namun sebaliknya, ada sedikit saja prestasi yang kebetulan diraih, semua langsung berlomba tampil ke depan kamera, mendaku diri sebagai "pahlawan" yang paling berjasa. Ini adalah fakta pengelolaan sepakbola kita sekian lama. Â Â Â
Sementara para penonton dan penikmat sepakbola yang masih terus berteriak menginginkan prestasi, hanya sekadar disuguhi harapan dan janji-janji. Hebatnya, mereka tetap datang dengan semangat memadati stadion lalu berteriak memberikan dukungan. Seakan tak pernah kapok, walaupun sudah berulangkali menelan kekalahan. Â Â Â
Kedepan, tanpa ada keseriusan untuk berbenah, sepakbola kita hanya akan menjadi sepakbola orang-orang kalah. Di dalam dan luar lapangan pertandingan, kita hanya bisa selalu meratapi kekalahan. Untuk menutupinya, lalu kita sibuk mencari-cari pihak yang bisa disalahkan.Â
Sekali lagi, kita adalah orang-orang kalah. Bahkan, pucuk pimpinan tertinggi organisasi sepakbola kita saja sampai sekarang masih tak mampu mengalahkan hasrat dan ambisi pribadinya, sehingga tetap merasa nyaman dengan posisi rangkap jabatan. Â Â Â Â
***Â
Jambi, 25 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H